Saturday, March 22, 2008

Khilafah Islamiyah: Tuntutan Agama Atau Fanatisme ?

Oleh: M.Afifuddin*
Membaca tulisan saudara NRY (Nur Rohim Yunus) di buletin Al-Ibrah edisi 9 (Sabtu 21 Juli 07) yang berjudul “Dekonstruksi Khilafah Islamiyah 2” yang tidak lain adalah kritik tajam atas pemikiran AMG (Abdul Muqsit Ghazali), salah seorang pentolan kelompok JIL yang tidak setuju konsep Khilafah Islamiyah diusung kembali di era modern saat ini, terlihat absurd antara idenya yang pro khilafah dengan ide AMG yang anti Khilafah Islamiyah. Ini bisa dilihat dari gaya bahasa judul yang digunakan NRY untuk membantah pemikiran AMG yang justru malah membenarkan pemikiran AMG dalam kata: Dekonstruksi Khilafah Islamiyah. Karena kata “De” memberikan arti kata negasi dari kata yang menjadi gabungannya, dan ini jelas bukanlah pengertian yang dinginkan NRY. Karena ia adalah sosok pengusung berat konsep tradisi lama khilafah Islamiyah. Seharusnya NRY harus konsisten dengan judul di tulisan pertamanya dengan menulis Reaktualisasi Khilafah Islamiyah 2 yang dengan jelas ingin tetap mempertahankan konsep tradisi Khilafah Islamiyah bukan dengan kata Dekonstruksi. Atau kalau mau tetap memaksakan dengan judul yang sama NRY seharusnya menambahkan kata MENGGUGAT IDE di depan kata DEKONSTRUKSI KHILAFAH ISLAMIYAH atau menjadikan sub judul pertama: Membendung Ide Dekonstruksi Khilafah Islamiyah menjadi judul utama.

Kerinduan seorang NRY akan lahirnya sebuah khilafah baru di era modern saat ini memang patut mendapat apresiasi dan penghargaan tinggi. Sebagai seorang muslim sejati ditambah backgroundnya yang syariah minded, mendirikan Khilafah Islamiyah baginya adalah sebuah solusi dan keniscayaan. Dalam pandangan NRY Islam sebagai agama final dan universal dari agama-agama samawi punya misi besar untuk mendirikan imperium Islam di bawah bendera Khilafah Islamiyah. Namun sayang NRY tidak punya konsep atau jawaban konkret dan applicable, minimal konsep global yang bisa dijadikan acuan untuk bersatunya Negara-negara Islam di bawah bendera Khilafah Islamiyah. NRY hanya pandai memainkan slogan-slogan "beku" seperti Islam adalah agama syamil, kamil mutakamil dan slogan apologi: sesuatu yang tidak bisa dicapai secara paripurna maka tidak ditinggal semuanya tanpa bisa memberikan gambaran konkret dan konstruktif tentang bagaimana bentuk bangunan persatuan umat Islam itu sendiri.

alam kritik tajamnya atas tiga pokok pemikiran AMG: Pertama, tidak adanya rumusan ideal tentang khilafah Islam yang diamini oleh Negara-negara Islam. Kedua, beragamnya tafsir syariat Islam. Ketiga, sejarah kelam Khilafah Islamiyah, NRY kembali bermain drama retorika dengan jawaban-jawaban yang mengambang dan terkesan membingungkan.Dalam menanggapi pertanyaan pertama, NRY tampaknya masih bingung membedakan terma khilafah. Ia terkesan melarikan makna khilafah kepada beragamnya madzhab dalam tubuh Islam. Padahal yang dinginkan AMG dalam terma khilafah adalah susahnya membuat konsensus yang disetujui umat Islam seluruh dunia untuk mengangkat seorang pemimpin Islam dalam lintas negara-negara Islam demi membawa bendera khilafah Islam, bukan dalam ranah beragamnya madzhab yang bisa dipilih sesuai kebutuhan.

Isu pengangkatan pemimpin Islam dalam payung khilafah negara-negara Islam inilah isu yang paling krusial dan susah diwujudkan untuk tidak mengatakan mustahil di era nation state saat ini, dimana negara-negara Islam telah tersebar di wilayah-wilayah yang terpisah dan independen. NRY memang boleh gelisah dengan masih terpecahnya umat Islam saat ini. Namun menjawab kegelisahan dengan langsung membentang bendera Khilafah Islamiyah sebagai solusi pemersatu umat Islam bukanlah jawaban yang "cerdas". Penulis tidak sekali-kali menafikan akan bangkitnya imperium Islam di kemudian hari, namun di era nation state yang saat ini masih dianut hampir seluruh negara-negara Islam tentunya tidak mudah untuk langsung menghapus sistem tersebut menjadi sebuah sistem khilafah secara tiba-tiba.

Umat Islam memang tidak harus menyerah dengan realita sistem nation state saat ini, namun setidaknya di era masih terpecahnya umat saat ini apakah tidak lebih baik menggunakan konsep fiqh awlawiyatnya (fiqh prioritas) Dr.Yusuf Qardhawi ?. Penulis sangat seide dengan tulisan Bang Yapono: Khilafah Islam just for Fun and Romance di web PPMI Pakistan (www.ppmipakistan.or.id) yang terlihat arif dan bijak dalam melihat kondisi umat Islam saat ini. Kondisi umat yang masih terbelakang dan lemah ini memang tidak seharusnya diforsir tenaganya untuk mendukung fanatisme khilafah yang masih "gelap" prospeknya yang notabene adalah wilayah politik praktis. Lebih baik umat Islam setempat diajak berfikir dengan persoalan yang ada di depannya, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kriminalitas, bencana alam, eksploitasi negara asing atas kekayaan wilayah umat Islam setempat dll.

Kalau umat Islam sudah bisa diajak berpikir secara logis seperti ini maka tahapan persatuan umat yang mengarah kepada bentuk khilafah adalah sebuah kemungkinan yang bisa direnungkan ulang dalam bingkai kemaslahatan umat. Karena Islam memang selalu mendorong umatnya untuk bersatu dalam tali Allah kendati persatuanya masih belum menemukan bentuk yang ideal dalam era modern ini. Namun persoalannya sekarang adalah umat Islam saat ini terkesan masih "malas" diajak berfikir dan berdialog. Mereka lebih suka mengeluh dengan keadaan tanpa mampu membuat terobosan-terobosan ide brilian dan solutif, serta mudah terombang ambing dalam gelombang hegemoni dunia Barat khususnya negara Paman Sam yang saat ini terus mempermainkan negara-negara muslim. Untuk menjawab hegemoni Barat ini, umat Islam saat ini sering kali suka tergoda dengan romantisme Islam masa lalu. Sejarah keemasan khilafah Islam masa lalu selalu saja digelar dengan bahasa yang "berbusa-busa" untuk meyakinkan umat agar kembali kepada sistem yang lama.

Keberhasilan khilafah Islam masa lalu tidak jarang dijadikan dalil kebersatuan umat. Bersatunya umat memang sebuah impian untuk menjawab hegemoni Barat, namun apalah artinya bersatunya umat kalau otak mereka masih kosong dengan ilmu pengetahuan. Menyatukan umat dengan modal otak kosong hanya akan melahirkan fanatisme buta dan justru akan menjadi permainan dan bahan tertawaan kaum maju.

Selain persoalan mendasar malasnya berfikir umat Islam saat ini, juga karena fanatisme agama yang berlebihan sehingga terkesan tidak mau menerima atau mengolah ide-ide dari luar. Mereka lebih suka mengagung-agungkan slogan Islam sebagai agama yang paripurna dan lengkap, sehingga menafikan ide dari luar Islam. Mayoritas dari mereka masih meyakini bahwa persoalan apa pun dapat ditemukan jawabanya dalam teks-teks agama. Ideologi seperti ini tentunya tidak bisa diharapkan banyak untuk membangun sebuah peradaban Islam yang manusiawi, arif dan bijaksana. Karena tidak ada sebuah peradaban berdiri linier tanpa ada proses tukar menukar dan asimilasi dari pihak luar.Khilafah wadah pemersatu umat?

Kalau kita membaca ulang dengan seksama tentang terma khilafah dalam al-Qur'an, maka ia sebenarnya adalah sebuah makna otoritas dan wewenang penuh yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan anak cucunya untuk mengurus persoalan-persoalan isi bumi dengan adil dan bijak. Namun terma khalifah yang tidak lain adalah simbol wilayah publik dalam menjaga keharmonisan relasi hubungan antar manusia seakan telah bergeser kepada makna imperium. Pergeseran makna ini memang tidak datang secara tiba-tiba tapi melalui proses sejarah dimana umat Islam pada waktu itu dapat diikat dalam sebuah wadah imperium Islam atau dinasti yang mereka sebut dengan khilafah Islamiyah.Disana juga nyaris tidak ada satu teks pun, baik yang tersurat atau yang tersirat secara eksplisit menyebutkan bahwa khilafah adalah simbol pemersatu umat.

Munculnya tafsir persatuan umat dalam wadah khilafah ini tidak lebih dari sekedar tafsir konteks dan realita. Kendati Islam antusias mendorong umatnya agar bersatu dan selalu mengobarkan sentimen ukhuwwah Islamiyah untuk menyatukan umat, namun penulis kurang sejalan apabila sistem khilafah ini dijadikan simbol pemersatu umat. Karena khilafah ini adalah sebuah wilayah politik praktis yang notabene alat pemaksa atas umat untuk tunduk dan patuh. Sedangkan persatuan dan ukhuwwah Islam adalah wilayah rasa yang tidak bisa dipaksa tunduk kepada bentuk sebuah sistem khilafah atau negara.

Dalam al-Qur'an, Allah sebenarnya hanya menyebutkan sebuah tali yang disandarkan atas namaNya untuk media mempererat persatuan umat. Namun sering kali terma tali ini ditafsirkan kepada perlunya sebuah ikatan resmi untuk menyatukan umat yang tidak lain bagi kalangan politik Islam mengarah kepada sebuah sistem khilafah Islam. Bagi penulis, tafsir tali sah-sah saja ditafsirkan ke arah sana, namun kebersatuan umat bagi penulis lebih condong kepada masalah hati dan rasa. Karena hati siapa pun tidak bisa dipaksa untuk menyukai sesuatu apalagi bersatu jika ia memang tidak sejalan dan seide dengan sesuatu tersebut.

Kita analogkan kebersatuan umat ini dalam miniatur keluarga kecil. Kebersatuan kita dalam anggota keluarga adalah sebuah realita namun apakah kita bisa menjamin bahwa kita juga selalu sehati sekata dengan anggota keluarga kita? Jadi, negara atau khilafah tidak punya kekuatan sedikit pun untuk memaksa umat untuk bersatu walaupun dengan label negara Islam, jika dalam negara Islam atau khilafah tersebut masih bersemi unsur yang memecah belah umat seperti diskriminasi dan ketidak-adilan dll.

Kendati Islam sudah tidak memberikan tempat bagi berseminya diskriminasi dalam bangunan Islam namun dikotomi Arab dan non-Arab selalu saja menjadi momok saat akan mengangkat seorang pemimpin Islam dalam perspektif sistem khilafah. Ini belum ditambah dengan sentimen ahlul baitnya kaum Syiah yang menyatakan tidak ada yang layak memegang tampuk kepemimpinan Islam kecuali dari keluarga keturunan Nabi Muhammad saw. Berangkat dari sini, maka persatuan umat harus berangkat dan dibangun dari nilai-nilai kultural bukan struktural, karena negara atau khilafah hanyalah sekedar sistem kontrak sosial yang bersifat mengikat dan mengontrol perilaku individu-individu di dalamnya bukan media penyatuan rasa.
Allahu a'lam* Mahasiswa S-2 Fak. Sosial Science Jur. Education IIU Islamabad.

Sunday, October 28, 2007

Menguji Keampuhan Jurus Musharraf

Oleh: M Afifuddin Muchit

Manuver politik presiden Musharaf untuk mempertahankan posisi kursinya sebagai presiden Pakistan ditempuhnya dengan berbagai cara. Jabatan lima tahun sebagai presiden resmi selesai pada tahun ini, namun tampaknya ia enggan melepas jabatan tersebut dan terkesan memaksakan kehendak untuk menggelar pemilu presiden lewat majlis parlemen lama yang juga akan selesai masa tugasnya pada tahun yang sama. Kendati kebijakan tidak populer ini banyak mengundang kritik keras dari berbagai kalangan politisi dan pakar hukum, namun akhirnya pemilu presiden (06/10/07) tersebut berjalan dengan lancar dan aman walau tanpa kehadiran partai oposisi yang mengundurkan diri dan memboikot pemilu tersebut karena dinilai melanggar hukum.

Pemilu presiden yang diikuti tiga kontestan termasuk presiden Musharaf dimenangkan dengan fantastis dan mencolok oleh Musharaf dengan meraup suara mutlak 98%. Namun kemenangan Musharaf tersebut masih menyisakan masalah besar tentang keabsahan Musharraf menjadi kontestan pemilu presiden, karena ia masih resmi menyandang baju militer sebagai KSAD. Dua kontestan pemilu presiden lainnya tidak menerima kekalahan mereka dan resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung Pakistan untuk membatalkan kemenangan Musharaf, karena dinilai menyalahi UU konstitusi Pakistan yang tidak membolehkan seorang kontestan berbaju militer untuk ikut dalam pemilu presiden.

Walau pesta kemenangan Musharaf ini harus tertunda sejenak, karena harus menunggu keputusan MA Pakistan namun bisa diprediksikan bahwa pengesahan kemenangan ini hanya menunggu waktu saja, karena MA dapat dipastikan tidak akan mampu unjuk gigi untuk membatalkan kemenangan rezim dari militer tersebut.

Dalam beberapa kali rentetan peristiwa sejarah demokrasi di Pakistan dari sejak era jenderal Ayub Khan pada tahun 1958 hingga era Musharaf sekarang, MA tercatat tidak mampu berbuat banyak ketika rezim militer berkuasa kecuali hanya mengesahkan politik penguasa. Indikasi mandulnya MA dalam menegakkan supremasi hukum terlihat tidak digubrisnya putusan MA oleh pemerintah, yang membolehkan perdana menteri Nawaz Syarif untuk pulang kampung. Namun rezim Musharaf bersikeras menolak Nawaz Syarif untuk pulang kampung dulu sebelum menggenapkan masa 10 tahun masa pengasingan seperti halnya klaim perjanjian yang telah ditanda-tangani antara rezim Musharaf dan Nawaz Syarif ketika Musharaf berhasil melakukan kudeta tidak berdarah kepada pemerintahan Nawaz Syarif.

Realita ini memberikan gambaran betapa kuatnya hegemoni militer ketika memegang kekuasaan, sehingga sebuah institusi MA yang seharusnya bebas dari intervensi ini ternyata masih gentar dengan penguasa rezim militer.

Politik Dagang Sapi


Musharaf sadar bahwa posisinya sebagai presiden masih sangat rentan. Ia membutuhkan partner untuk menguatkan legitimasinya di kursi presiden. Ia melihat bahwa sosok yang bisa diharapkan dan yang paling dekat dengan mainstrem politiknya adalah Benazir Bhutto. Tercatat beberapa kebijakan Musharaf banyak diamini oleh mendiang putri Zulfikar Ali Bhutto ini, seperti UU perlindungan kaum wanita, Operasi militer melawan pejuang militan Lal Masjid di Islamabad, perang terhadap ekstrimisme, pengiriman tentara militer ke wilayah perbatasan Pakistan-Afghanistan untuk menumpas sisa-sisa kekuatan Taliban dan jaringan Al-Qaedah, dll.

Dalam deal yang dilakukan Musharaf dengan Benazir Bhutto di London beberapa minggu yang lalu, Musharraf memberikan tawaran kue menarik berupa perdana menteri, menggugurkan semua tuduhan korupsi dan pencucian uang yang dilamatkan padanya dan suaminya lewat paket rekonsiliasi nasional atau NRO (National Reconciliation Ordinance) dan rela melepas baju militernya jika kemenangannya disahkan oleh MA.

Gayung pun bersambut, karena BB meneriwa tawaran tersebut. Fenomena politik dagang sapi ini tidak diragukan lagi untuk melahirkan symbiosis mutualism di kedua belah pihak. Yaitu dengan menguatnya legitimasi Musharaf sebagai presiden Pakistan sementara BB sendiri akan dapat menikmati kembali empuknya kursi perdana menteri untuk yang ketiga kalinya.

Ini memang sebuah wajah ironi bagi negara Pakistan yang telah lama mencita-citakan tegaknya demokrasi yang legitimed dan egaliter, namun selalu saja ditebas oleh pedang status quo militer atau kongkalikong militer sipil yang bernafsu mencari dan mempertahankan kekuasaan. Oleh karenanya, para pengamat dan kaum oposisi sangat menyayangkan keputusan BB tersebut. Karena deal ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Pakistan. Karena rakyat Pakistan tidak diuntungkan sama sekali dengan deal politik daging sapi ini dan justru akan membukakan celah baru bagi tumbuh suburnya penyakit korupsi.

Politik Belah Bambu dan Adu Domba


Politik Musharaf menawarkan paket rekonsiliasi nasional (NRO) tidak lain hanya sekadar politik belah bambu untuk melempangkan jalan BB agar bisa balik kampung dan bergandengan tangan membentuk pemerintahan baru dengan dirinya, tapi tidak bagi Nawaz Syarif. Musharaf tetap mengharamkan Nawaz Syarif untuk balik kampung sampai ia menggenapkan 10 tahun masa hukuman pengasingan.

Jurus politik Musharaf dengan menggandeng BB sebagai partner dalam membentuk pemerintahan baru cukup ampuh untuk membendung sekaligus memecah kekuatan oposisi yang bersatu dalam APDM (All Parties’ Democratic Movement) untuk menggulingkan rezim Musharaf. Karena BB sebelumnya termasuk diantara barisan oposisi dan bahkan sempat menandatangani piagam bersama untuk tidak bekerja sama dengan rezim militer.

Dengan telah dikantonginya kartu as BB ini, berarti legitimasi Musharaf duduk di kursi presiden untuk yang kedua kalinya akan semakin kuat dan mantap. Karena BB bersama dengan partainya PPP (Pakistan People’s Party) adalah partai besar yang punya basis massa akar rumput yang sangat kuat, hampir di empat wilayah propinsi di negara Pakistan khususnya wilayah propinsi Sindh, tempat lahirnya BB. Mungkin satu-satunya wilayah yang agak ‘angker’ bagi PPP adalah propinsi Punjab. Karena wilayah tersebut dikenal sebagai daerah basis kekuatan partainya Nawaz Syarif, PML-N (Pakistan Muslim Leage ) Nawas
Dalam paket NRO ini Musharaf terlihat sebagai sosok politikus handal yang sangat cerdik mengadu domba lawan politiknya. Sehingga ia tetap bisa eksis duduk di puncak kekuasaan walau dengan menghalalkan segala cara dalam merengkuhnya.

Wednesday, October 3, 2007

Puasa dan Kesalehan Sosial

Oleh: M Afifuddin Muchith
Mahasiswa Pasca Sarjana Fak Sosial Science IIU Islamabad, Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri

Berbicara puasa maka orang akan langsung terbayang kepada sosok yang menahan lapar dan haus sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari di ufuk barat. Upacara keagamaan ini merupakan sebuah ritual umat Islam yang lumrah dilakukan tiap tahun ketika menjelang bulan suci Ramadhan tiba. Ritual tahunan ini merupakan sebuah perayaan yang disambut dengan suka cita oleh segenap umat Islam di seluruh dunia. Karena bulan tersebut memang selalu menjanjikan berbagai hidangan akherat yang menggiurkan mulai dari ampunan dosa sampai pemburuan sebuah moment penting dan sangat berharga dari seribu bulan atau yang lebih dikenal dengan terma malam lailatul qadar.

Puasa merupakan salah satu pilar fundamental tegaknya bangunan Islam. Diantara motivasi dan cita-cita besar Allah mewajibkan umat Islam berpuasa adalah agar menjadi manusia yang bertaqwa kepadaNya. Kelebihan puasa dari ritual upacara ibadah lainnya dalam Islam adalah karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia. Berangkat dari sinilah, Allah dalam sebuah hadis qudsi di kitab Bukhori dan Muslim berfirman dengan tegas bahwa puasa adalah milikNya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya.

Tingginya gairah beramal shaleh umat Islam di bulan suci Ramadhan ini memang luar biasa, sehingga orang tidur pun punya daya nilai ibadah apalagi orang yang benar-benar konsen dan fight mengerjakan dan mengumpulkan pundi-pundi amal saleh untuk tabungan amal di hari kelak nanti. Namun begitu, rata-rata umat Islam masih suka tergoda dan terjebak dengan nuansa hingar bingar pentas seni "kosmetik" dan "gincu" bulan suci ini, karena mereka belum bisa menjiwainya dalam perilaku shalehnya di bulan-bulan lain di luar Ramadhan. Ini memang kekurangan umat Islam dalam beragama yang masih terpesona dengan warna “gincu” teori ekonomi, alias suka menjual barang-barang mewah di pasar yang menjanjikan provit yang lebih dan belum mengarah kepada bentuk nilai-nilai keikhlasan yang murni dan rasa cinta kepada Allah.

Relasi Keshalihan Pribadi Dengan Keshalihan Sosial

Tidak diragukan nuansa perung kosong yang terbingkai dalam bentuk puasa akan selalu mendorong seorang hamba untuk tidak banyak melakukan aktifitas fisik yang berat dan lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada sang Penciptanya, karena rasa perih dan haus yang dideritanya memang tidak memungkinkannya untuk banyak bergerak kecuali hanya komunikasi kontak batin antara sang hamba dan Penciptnya. Berangkat dari sinilah mengapa dimensi interaksi ibadah puasa begitu kental mewarnai pribadi muslim dengan Tuhannya. Elemen inilah yang menciptakan nuansa hubungan vertikal begitu menonjol dan nyaris melupakan atau bahkan memutus hubungan horisontal. Padahal kalau kita mau renungkan lebih mendalam, dimensi vertikal ini selalu akan berbanding lurus dengan dimensi garis horisontal.

Kentalnya nuansa individual seorang hamba dengan Tuhannya dalam dimensi ibadah puasa ini karena pesan tafsir yang banyak diadopsi kaum muslimin dari makna taqwa yang mengarah kepada makna kedekatan personal seorang hamba kepada Penciptanya. Ini merupakan sebuah makna konvensional taqwa yang banyak dipahami oleh umat Islam selama ini. Namun kalau kita mau membaca ulang makna taqwa yang terdapat pada surat al-Baqarah 177 maka ia punya makna yang lebih holistik dan komprehensif yang tidak hanya mengarah kepada dimensi vertikal hamba dan Tuhannya saja, akan tetapi punya dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, membebaskan budak (menyantuni orang dhuafa) sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial

Bulan Ramadhan ini sebenarnya punya maksud dan nilai yang sangat mulia yang tidak hanya terbatas pada pembentukan pribadi-pribadi yang shaleh tapi juga membentuk karakter building sebuah masyarakat yang shaleh dan kokoh. Karena puasa ini sebenarnya sarat dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Mengembalikan Fitrah Manusia

Diantara cita-cita Allah menciptakan manusia adalah agar saling mengasihi, menolong antar sesamanya dan menjauhi sifat egoisme. Dengan dibekali akal fikiran yang sehat serta hati nurani yang jernih, manusia diharapkan mampu menjadi pengayom yang adil terhadap semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Namun sayang antara cita-cita dan realita terkadang harus berbenturan. Karena sering kali cita-cita mulia ini tidak bisa tersampaikan dengan baik karena sifat dan ego manusia yang sudah dikuasai oleh nafsu syetan, sehingga lupa akan jati diri dan tugas yang diembannya. Kendati demikian, Allah tidak patah arang dan masih tetap menaruh harapan besar akan kembalinya fitrah manusia, karena manusia adalah makhluk yang dapat menerima peringatan dan mau kembali kepada jati diri sucinya.

Diantara media yang digunakan Allah untuk mengembalikan manusia kepada fitrah aslinya adalah puasa. Dengan media puasa ini, manusia diharapkan dapat ingat dan mau kembali kepada jati dirinya yang suci dan luhur dengan hadirnya kembali nilai-nilai kemanusian yang arif dan bijak. Ketika nilai fitrah manusia tersebut muncul kembali, maka nilai persamaan dan solidaritas atas penderitaan sesama makhluk hidup akan dapat hadir kembali mewarnai hari-hari anak Adam, seiring nilai-nilai yang diajarkan dalam media puasa.

Ketika manusia (muslim) sudah dapat menangkap nilai yang terkandung dalam puasa, maka diharapkan ia mampu membebaskan dirinya dari bayang-bayang egoisme dan menghayati kembali nilai-nilai fitrah suci dalam dirinya. Dengan demikian, maka ia sebenarnya telah tersadar akan posisi dirinya sebagai makhluk sosial sejati yang harus peka dengan problematika kehidupan sosial yang ada di sekitarnya, dalam arti tidak lagi berpangku tangan dan justru akan menjadi ringan tangan membantu sesamanya yang masih dirundung duka dan nestapa. Gambaran kepekaan sosial ini akan kita temukan dengan gamblang saat orang-orang yang berpuasa tersebut diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah di penghujung akhir puasanya sebagai media penyempurna ibadah puasanya.

Ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap kesalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan kesalihan pribadi kepada kesalihan sosial. Karena Ia tidak akan ragu-ragu dan segan menolak puasanya pribadi-pribadi muslim manakala mereka belum menunaikan ibadah sosial berupa zakat fitrah.

Namun patut disayangkan, cita-cita puasa yang punya nilai kemanusian yang tinggi masih belum banyak disadari oleh insan yang berpuasa itu sendiri. Mereka masih saja terjebak dengan ritual upacara tahunan tersebut tanpa ada perubahan-perubahan yang mendasar pada perilaku kehidupan kesehariannya. Mereka hanya mengejar kesalihan pribadi tanpa ada ketersambungan sekali dengan kesalihan sosial. Fenomena ini memang bisa dipahami, karena masih jarang ulama atau intelektual yang membedah puasa dalam perspektif ibadah sosial. Para tokoh Islam lebih suka mengurai puasa dari sudut pendekatan garis vertikal tanpa memberikan relevansinya dengan garis horisontal sehingga membuat puasa tereduksi dalam media privat dan kehilangan daya kontrolnya dalam perilaku kehidupan muslim di tengah kehidupan bermasyarakat sosial. Allahu A’lam

Sunday, September 16, 2007

Ketika Kecerdasan Sosial Tercabut Dari Akarnya

Oleh: M.Afifuddin Muchit*)
Pendahuluan

Sejarah manusia adalah sejarah conflic of interest. Sejak manusia dideklarasikan sebagai khalifah di muka bumi ini, instrumen tuduhan negatif dan kecurigaan sudah melekat pada diri manusia, karena potensinya yang corrup, arogan dan suka menumpahkan darah antar sesamanya
[1]. Tesis ini diperkuat oleh pakar politik legendaris dari Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengatakan: man was essentially selfish, egoistic and self-seeking[2]. Elemen negatif ini disebabkan karena manusia lebih suka dibuai oleh pelukan hangat nafsu dari pada pelukan ‘panas’ akal sehatnya dalam memutuskan sebuah perkara. Padahal akal adalah instrumen yang paling berharga untuk membedakan antara benar dan salah.

Karena kekurangan manusia inilah, malaikat melakukan “unjuk rasa” di depan Allah agar mengoreksi kembali keputusaNya tersebut karena ia sangat membahayakan dunia dan menawarkan diri untuk menempati posisi tersebut, karena merasa memiki kemampuan dan superioritas yang lebih di banding manusia, ditambah track recordnya yang mengagumkan: loyalitas yang tinggi dan senantiasa membesarkan simbol-simbol kebesaran Allah. Namun Allah tetap tidak bergeming dengan keputusaNya kendati dengan segala kekurangan yang dimiliki manusia, karena manusia memiliki satu kelebihan yang tidak dipunyai oleh malaikat dan jin, yaitu ilmu dan kebijaksaan.

Dari lipatan pita rekaman sejarah manusia tersebut, kita punya satu titik pijakan, bahwa dalam diri manusia itu terdapat dua potensi besar antara positif dan negatif sekaligus. Oleh karena itu Allah tidak bosan-bosan memberikan bimbingan kepada manusia agar senantiasa berpegang pada pesan-pesan Allah supaya dapat menjalankan misi kekholifahanya di muka bumi ini secara benar dan bertanggung jawab sesuai ilmu yang dimilikinya

Kholifah adalah sebuah terminologi yang diambil dari bahasa Arab yang bermakna pengganti. Sebuah terma yang menggambarkan posisi manusia yang tinggi sebagai simbol ‘bayangan’ Allah di muka bumi, untuk mengurus dan mengelola permasalahan manusia dan makhluk penghuni bumi lainnya secara adil dan bijaksana, agar kesejahteraan dan kedamaian bisa hadir di muka bumi.

Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa terpisah dari komunitasnya, manusia punya naluri political animal[3] . Sebuah naluri ketergantungan kepada sebuah komunitas sekaligus naluri untuk menguasai. Naluri seperti ini perlu dikontrol dalam norma-norma aturan dalam masyarakat agar arogansi dan ketegangan sosial bisa diminimalisir dan kehidupan bisa berjalan di atas roda saling menghormati dan menghargai. Oleh karenanya, lahirlah konsep kontrak sosial yang mengandaikan supremasi komunitas masyarakat di atas interes individu[4].

Kendati kekurangan dalam diri manusia bersifat inherently, namun manusia juga punya naluri positif: tidak ingin disakiti atau dipasung hak-haknya sebagai manusia. Ini mengilustrasikan adanya bentuk toleransi dan saling menghormati, yang mana ujung dari elemen positif ini adalah anti kekerasan,intimidasi dan lebih mengedepankan cinta dan perdamaian dari pada pertumpahan darah. Potret cinta perdamaian ini bisa dilihat dengan transparan saat Amerika mau mengganyang Iraq. Hampir seluruh warga dunia turun ke jalan untuk mengutuk tindakan unilateral Paman Sam yang biadab itu[5], karena manusia punya kecenderungan naluri anti kekerasan dan suka bersimpati terhadap orang yang dipasung hak kemanusianya tanpa perlu memandang ras,suku,agama manusia.

Oleh karena itu, manusia sebagai insan yang berakal dituntut untuk bisa belajar bekerja sama dengan sesamanya dan belajar memahami watak dan karakter manusia agar kehidupan manusia bisa berjalan damai dan harmoni dan tidak perlu adanya gejolak-gejolak sosial yang justru akan merobohkan bangunan kebersamaan kemanusian.

Relasi Kaum Terpelajar dan Sosial Masyarakat

Dalam era primitif, keberadaan manusia dan lingkuanganya masih sangat simple. Mereka hanya mewariskan ilmu keahlian fisik kepada anak keturunannya untuk bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup
[6] sekaligus keahlian dalam membentengi diri dari ancaman binatang liar atau manusia jahat[7]. Namun seiring perubahan zaman yang terus berjalan, perkembangan manusia juga bergerak dengan cepat dan dunia seakan sudah tanpa batas. Fenomena ini menuntut manusia tidak hanya menguasai keahlian fisik, tapi keahlian olah fikir juga perlu mendapat perhatian serius, karena harga manusia sekarang tergantung bagaimana ia mampu memaksimalkan kecerdasan akalnya.

Manusia yang telah dianugrahi kecerdasan akal oleh Allah punya tanggung jawab menggunakan kecerdasan akalnya untuk menjawab setiap persoalan dan problem sosial yang terjadi di tengah komunitasnya. Oleh karena kecerdasanya itu, manusia diberi gelar agent of change. Ini memberikan indikasi bahwa relasi antara kaum terpelajar dan masyarakat adalah sangat kental. Karena di tangan kaum terpelajarlah, hitam putihnya nasib sebuah masyarakat. Dan dengan kecerdasan akalnya pula, manusia diharapkan dapat bersikap dan berfikir secara kritis, dinamis dan konstruktif untuk membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia.

Aktor agent of change yang biasa diwakili oleh para aktifis sekolah atau kampus masih punya tanggung-jawab lain untuk mengkonsolidasi dan memformulasikan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti nilai kultural, agama, sejarah dll. Mereka juga bertanggung-jawab untuk menjaga nilai positif dalam masyarakat, merancang peta masa depan masyarakat dan selalu peka terhadap perubahan dan gejolak dalam masyarakat[8].

Paradoksal Kaum Intelektual

Umumnya kaum terpelajar dimanapun berada punya posisi terhormat di mata masyarakat. Posisi ini dilegitimasi oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi: Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman darimu dan orang-orang yang dikaruniai ilmu dengan beberapa tingkat. Namun demikian, sosok kaum terpelajar/intelektual saat ini sedang dipertanyakan gelarnya sebagai agent of change. Karena alih-alih mampu mengubah bentuk masyarakat yang konsumerisme dan hedonisme, kaum terpelajar saat ini justru ‘terhanyut’ dalam arus negatif tersebut. Ini bisa ditelisik dari motivasi kaum terpelajar ketika mengais ilmu. Rata-rata motivasi mereka adalah bagaimana bisa mendapat kerja tanpa dibarengi komitmen bagaimana membentuk masyarakat idealis. Kendati motivasi tersebut bisa disahkan secara logika, namun secara moral motivasi tersebut akan mengkerdilkan predikatnya sebagai agent of change. Karena ia hanya akan menjadi aktor yang pasif dan cuma dapat mengikuti arus global atmosfir masyarakat tanpa ada sense of control terhadapnya.

Ketika aktor pengais ilmu ini motivasinya mencari kerja per se tanpa dibarengi komitmen membangun masyarakat yang idealis, maka motivasi ini sedikit banyak akan mengamini bentuk-bentuk materialisme yang mana ujung-ujungnya adalah konsumerisme dan hedonisme itu sendiri. Oleh karena itu tidak heran, jika kaum intelektual yang pernah duduk di kursi KPU pada pemilu kemarin, kendati dari kaum aktifis kampus yang dinilai steril dari kepentingan kelompok tertentu, masih saja tersandung masalah korupsi, karena motivasi mereka juga tidak jauh beda untuk bagaimana memanfaatkan peluang dan kedudukan yang terhormat bukan bagaimana menunaikan amanat rakyat dengan integritas tinggi.

Inilah yang membuat masyarakat Indonesia skeptis dan pesimis terhadap masa depan Indonesia dan tidak tahu kepada siapa lagi mereka akan menitipkan kepercayaan ini, setelah kaum intelektual dan terpelajar ternyata tidak jauh berbeda dengan bandit-bandit negara yang suka makan uang negara. Skeptisme masyarakat tersebut tampak trasparan pada pemilu 2004 kemarin, yang mana golput tampil sebagai pemenang pemilu[9]. Ini menggambarkan betapa dahsyatnya skeptifitas rakyat atas retorika-retorika kosong kaum intelektual yang terbungkus dalam partai politik, institusi pemerintah atau NGO.

Lalu bagaimana caranya mengembalikan citra kaum intelektual yang terpuruk tersebut ? Tidak ada jalan lain, kecuali para kaum intelektual mau kembali memakai jubah agent of change dan melempar jauh jubah agent of interest. Agent of change adalah sebuah terma untuk membina dan mengarahkan masyarakat kepada positif thingking dan menjunjung tinggi asas keadilan sosial.

Paulo Freire seorang pakar pendidikan dari Brazil memberikan definisi terhadap orang yang layak menyandang predikat intelektual adalah mereka yang konsisten menafsirkan dan memberi makna terhadap hidupnya di dunia dan dengan turut serta memberikan gagasan bagaimana cara memandang dunia[10]. Definisi intelektual Paulo Freire ini menggambarkan peran aktif kaum intelektual dalam berdialog dan berkomunikasi dengan masyarakat dalam proyek sosial yang ideal dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab. Paulo Freire paling anti dengan segala bentuk dominasi dan menyatakan perang terhadap penguasa yang otoriter dan pro status quo. Ia juga mengkritik kaum gereja yang tidak bisa bersikap netral terhadap kaum lemah dan tertindas. Gereja malah lebih suka memback up penguasa demi untuk menjaga stabilitas sosial dan meminta kepada pengikutnya untuk diam dan ikut aturan penguasa[11].

Namun negeri Indonesia saat ini tidak dalam drama hegemoni atau dominasi penguasa. Namun sebaliknya, pemerintah di bawah SBY justru nyaris miskin hegemoni atau dominasi. Ia hanya mampu berupaya membangun istana wibawa di atas puing-puing krisis multidimensi.

Arah Kompas Lokomotif Ilmu Pengetahuan

Sebuah pertanyaan mendasar muncul: Knowledge for what? Atau dalam bahasa lain, kemanakah arah lokomotif pengetahuan ini akan bermuara? Banyak intelektual mengakui akan dahsyatnya kekuatan akal, sehingga sebuah majalah DJ (Defence Journal) menjadikannya sebuah motto yaitu: mind is the ultimate weapon. Motto ini memberikan illustrasi akan tingginya superioritas akal karena mampu menciptakan unsur deterrent yang digambarkan dalam sebuah kata: weapon. Terma ini secara implisit menggambarkan dua posisi akal, positif dan negatif sekaligus, tergantung siapa dulu yang memegang weapon tersebut. Oleh karenanya, Islam tidak membiarkan akal bergerak liar tapi membungkusnya dalam nilai-nilai akhlakul karimah dan kemanusian. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kecerdasan akal bukanlah bentuk final dari penciptaan akal, tapi ilmu pengatahuan adalah alat instrumen untuk mencapai titik kebenaran dan kesempurnaan manusia. Dan kesempurnaan manusia terletak pada kontribusi positifnya terhadap masyarakat publik
[12], dan kontribusi positif ini tidak timbul kecuali dari bentuk kesadaran akan nilai-nilai positif dari akhlakul karimah.

Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, meringkas misi kerasulanya dalam sebuah statemen singkat: sesungguhnya aku diutus di dunia ini hanya untuk membentuk moral yang mulia[13]. Hadis ini menggambarkan betapa signifikanya etika dan moralitas terhadap komunitas masyarakat. Karena etika dan moralitas membawa masyarakat kepada kejujuran, kedamaian dan saling menghormati dan menolong antar sesama. Kendati misi kerasulan beliau mencakup banyak aspek, terutama misi Tauhid, namun makna Tauhid ini tidak banyak berarti bila tidak bisa terefleksi dalam bingkai akhlakul karimah. Karena inti dari risalah kalimah Tauhid adalah membentuk manusia yang beraklakul karimah. Dan akhlakul karimah inilah kata kunci yang mengarah kepada kecerdasan sosial dan peka terhadap gejala ketimpangan sosial.

Kesimpulan

Dalam Islam, banyak sekali pesan-pesan untuk menggunakan kelebihan kecerdasan akalnya untuk berfikir tentang ayat-ayat tanda kebesaran Allah agar manusia bisa memahami makna kehidupanya di dunia. Namun cukupkah kecerdasan akal manusia hanya untuk mengkomsumsi ayat-ayat kebesaran Tuhannya, tapi kosong aktualisasi di lapangan? Walaupun Allah senantiasa mendorong manusia (baca: muslim) untuk memaksimalkan kelebihan akalnya untuk berfikir,namun berfikir bukanlah akhir dari pesan Allah, ia masih bersambung dengan aksi di lapangan.

Kalau manusia mau mendalami lagi teks-teks agamanya, maka ia akan menemukan satu titik, bahwa muara dari pada berfikir dan kecerdasan akal adalah menjadi manusia terbaik. Lalu bagaimanakah menggapai predikat yang prestisius tersebut?. Rasulullah dalam sebuah hadis yang sangat masyhur memberikan jawaban singkat: manusia terbaik adalah orang yang paling banyak memberikan kontribusi positif kepada manusia. Hadis ini memberikan potret gamblang bahwa puncak dari pada kecerdasan akal adalah bagaimana caranya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya, bukan retorika di atas mimbar. Hadis ini seakan melegitimasi kebenaran firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang menjelaskan komitmen orang beriman bukanlah bentuk fisik dari ibadah tapi ketersambungan antara nilai keimanan dengan problem sosial yang terbingkai dalam nilai pengorbanan dan nilai kesabaran. Ketika nilai-nilai pengorbanan dan kesabaran ini tercerabut dari akar keimanan, maka yang muncul adalah hanyalah simbol-simbol agama yang tergambar dalam upacara-upacara ritual belaka tapi sunyi dari nilai-nilai sosial. Dari sinilah sebenarnya sumber pembusukan sebuah masyarakat di mulai. Ketika nilai-nilai moralitas, pengorbanan dan kesabaran yang menjadi simbol kecerdasan sosial mulai terdegradasi dari panggung masyarakat, maka yang muncul adalah sifat egoisme, individualistis dan arogan yang mana atribut negatif ini sangat bertentangan nilai-nilai kecerdasan sosial yang dicita-citakan oleh Islam. Wallahu A’alam.
(* Penulis tercatat sebagai mahasiswa S-2 Fakultas Sosial Science Dept.Education)

[1] . Lihat, Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 30
[2] . Lihat, Mazher Ul Haque, Political Science (theory and practice) bookland (Pvt) Limited, 16 Urdu Bazar, Lahore,hal, 138
[3] . Ibid, hal,1
[4] . Ibid,hal 143
[5] . Lihat, Abdul Halim Mahally, Menjarah Negeri Muslim, Fima Rodheta, Taman Villa Baru Blok A 26 Bekasi,hal,145.
[6] . Lihat, Mrs.Tanvir Khalid, Education (Introduction to Educational Philosophy And History), National Book Foundation, Islamabad,hal,6
[7] . Lihat, Encarta Encyclopedia 2006 (education)
[8] . Lihat, B.D. Damral, B.N. Dash, Philosopical and Sociological Foundation of Education, Kalyani Publisher B-I/1292, Rajinder Nagar, Ludhiana-141 008, hal,193
[9] . Lihat, Tempo, 23 Januari 2005.
[10] . Lihat, Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan,Kekuasaan, dan Pembebasan), Penerbit ReaD (Research, Education and Dialogue) dan Pustaka Pelajar, Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta, hal,23
[11] . Ibid, 212
[12] . Lihat, At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Ausat, Juz, 13, hal, 27
[13] . Lihat, Imam Malik, Al-Muwatta’ hal,386.

Akar Sekularisme dalam Beragama

M.Afifuddin Muchit
Mahasiswa S-2 Fakultas Sosial Science IIU Islamabad, Alumnus Pesantren Lirboyo, Kediri.

Menelisik relasi Islam dan kekuasan memang selalu menarik. Ketika Islam resmi mendeklarasikan diri sebagai agama yang paripurna yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia, sebuah pertanyaan muncul bagaimana bentuk konkret dogma Islam tentang hierarki hubungan manusia dengan manusia? Banyak kalangan berdebat sengit tentang letak prinsipil peran Islam dalam publik. Apakah dogma Islam publik itu hanya bermain dalam lingkaran nilai dan kultural, tanpa perlu adanya kekuasaan dalam menerapkan aturan-aturan publik?

Kalau kekuasaan memang diperlukan, berarti Islam dituntut untuk merebut kekuasaan dan menerapkan aturan-aturan Islam dalam kehidupan publik agar syiar dan nilai Islam tampak transparan di ruang publik. Tapi kalau Islam publik tidak perlu kekuasaan, berarti Islam harus cukup puas terkotak dalam lingkar nilai dan tidak punya penetrasi riil terhadap kehidupan publik.
Inilah polemik perdebatan panjang yang membelah umat Islam menjadi dua kubu. Kalau mengacu pada teks-teks Islam, hubungan Islam dan politik kekuasaan secara implisit mengarah pada sebuah keniscayaan. Keberadaan negara sangat dibutuhkan untuk menjalankan aturan-aturan dalam Islam seperti halnya konsep Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sultaniyyah tentang agama dan negara. Karena bagaimana mungkin aturan Islam tentang kehidupan publik dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya kekuasaan. Karenanya, banyak tokoh agama yang membuat rujukan negara Madinah sebagai contoh konkret tentang eratnya hubungan Islam dan kekuasaan. Namun tidak sedikit kalangan yang menolak ide negara Islam, karena Islam terbukti tidak membawa konsep baku tentang negara. Karena hampir tidak ada teks eksplisit agama yang menyebutkan bahwa kota Madinah itu adalah sebuah negara Islam.

Ketika Islam dipercaya punya hubungan erat dengan kekuasaan, maka pertanyaan baru akan muncul. Tafsir mana yang representatif untuk mewakili Islam? Tafsir penguasa atau tafsir ulama? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dipecahkan. Ketika ditanya tentang agama, maka mayoritas umat Islam tidak ragu-ragu mengakui ulama lah yang punya tafsirnya. Tapi anehnya ketika ulama mencoba bergerak membuat tafsir Islam publik, maka senapan dan moncong meriam penguasa akan mengarah ke muka ulama, dengan dalih ini bukan wilayah ulama. Wilayah ulama hanya ada di masjid dan madrasah (pesantren), serta tidak perlu ikut campur urusan publik. Inilah potret perdebatan sengit dan bergejolak di Pakistan tentang tafsir Islam publik, yang akhirnya berujung kepada tragedi berdarah di Masjid Merah Islamabad (11/07/07) yang memakan korban sedikitnya 124 orang. Tokoh agama dan pengikutnya melawan pemerintah. Tokoh agama menuduh pemerintah tidak mumpuni dalam memahami dan menerapkan tafsir Islam publik secara benar, yang akhirnya memaksa tokoh agama turun tangan untuk menerapkan tafsir Islam publik secara 'benar'.

Tragedi Masjid Merah yang berlangsung delapan hari di jantung kota Islamabad memunculkan beragam tanggapan dan opini tentang posisi peranan agama dalam kehidupan publik. Banyak opini yang memandang sebaiknya agama 'kembali ke barak' dan mengajari pengikutnya untuk beragama yang toleran dan bisa menghargai orang serta tidak perlu turut campur dalam urusan publik.

Sebuah ambiguSekilas opini ini mengundang hal positif dan bisa diterima logika, karena akan tercipta atmosfir yang 'damai' dan bersahabat dengan lingkungan. Opini ini secara implisit juga mengesahkan tafsir agama penguasa sebagai tafsir Islam publik yang sah. Namun di sisi lain, opini ini secara terselubung mengajarkan 'kepasifan' dalam beragama dan mengkerdilkan peran Islam di ruang publik. Opini ini secara tidak sadar telah mengamini konsep sekularisasi Barat yang mengharamkan campur tangan agama dalam urusan publik.

Inilah ambiguitas umat Islam dalam beragama. Di satu sisi, saat wacana konsep sekularisme dikumandangkan oleh Barat, mereka ramai-ramai menabuh genderang perang. Namun dalam realitas di lapangan, mereka justru ramai-ramai memakai baju sekularisme tanpa sadar dalam bentuk pengurungan Islam dalam masjid dan madrasah. Bahkan, wilayah Islam yang ada dalam masjid dan madrasah pun masih tetap dikontrol penguasa agar norma-norma publik dalam Islam bisa ramah lingkungan.

Tafsir Islam publik yang dipegang tokoh agama di Pakistan memang terkesan 'liar' dan 'galak'. Mereka nyaris tidak bisa kompromi dengan kebudayaan asing yang bertabrakan dengan syariat Islam, seperti musik, film-film Barat, dan India, pergaulan bebas, bersalaman dengan lain jenis, prostitusi terselubung, dan sebagainya. Tafsir Islam publik ala tokoh agama semakin memuncak ketika pemerintah Musharaf terlihat mesra dengan Barat khususnya Amerika.

Kerasnya tafsir Islam publik ala tokoh agama ini bukannya tanpa alasan. Banyak teks Islam secara tersirat mendorong mereka untuk melakukan perang terhadap kemungkaran, ketidakadilan, dan larangan bermesraan dengan non-Muslim yang nyata-nyata telah menumpahkan darah umat Islam seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, dan Kashmir.

Keberanian tokoh Islam di Pakistan mengangkat senjata melawan penguasa merupakan contoh kecil dari ideologi superioritas Islam atas yang lain. Ideologi ini mengantarkan kepada sebuah potret absurdnya norma Islam publik dalam menjaga relasi keharmonisan manusia dengan manusia. Tragedi berdarah antara pemerintah dan tokoh agama di Masjid Merah Islamabad juga memunculkan wacana perang tafsir Islam publik dan berakhir dengan kemenangan gemilang oleh pemerintah Musharraf. Kemenangan ini semakin mengukuhkan konsep sekularisme Barat yang melarang campur tangan agama di ruang publik.

Tragedi berdarah di Masjid Merah Islamabad juga menyadarkan umat Islam di belahan bumi lainnya berpikir ulang untuk begaimana merumuskan kembali konsep tafsir Islam publik yang harmonis tanpa perlu adanya pemasungan terhadap Islam. Namun begitu, tokoh-tokoh Islam juga tidak boleh semena-mena dan arogan melawan pemerintah atas nama pemilik tafsir Islam publik yang sah.

Tafsir Islam Publik penguasa vs Ulama

Oleh: M.Afifuddin Muchit
Islam dikenal luas oleh penganutnya sebagai agama yang sempurna dan paripurna yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia, baik yang vertikal maupun horisontal. Dogma ini mengantarkan kepada sebuah kata final yang termaktub dalam teks-teks agama (baca: alqur'an and as sunnah). Namun begitu, konsep Islam tentang relasi hubungan antar manusia masih dalam perdebatan sengit dan belum ditemukan kata sepakat dikalangan umat Islam tentang perlu tidaknya negara dilibatkan dalam menerapkan norma-norma Islam tentang kehidupan publik. Manafsirkan dogma Islam publik memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena ini selalu berbenturan dengan politik kekuasaan.

Ketika berbicara Islam, maka sosok yang representatif untuk menjadi juru tafsirnya adalah ulama. Karena dialah orang yang mengusai literatur dogma-dogma Islam. Namun masalahnya tidaklah semudah yang dibayangkan. Para ulama seringkali merujuk kehidupan publik pada teks agama. Kehidupan publik selalu saja "diringkus" dalam teks-teks agama untuk dicarikan pembenaran dan pemvonisan. Padahal ruang publik itu adalah kehidupan dinamis dan selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial sebuah masyarakat.

Tafsir Islam publik ala ulama ini sering kali berbenturan dengan fenomena sosial lebih-lebih dengan hukum positif di sebuah negara yang berlabelkan Islam. Disinilah kita perlu menarik garis tegas tentang posisi ulama sebagai penafsir Islam publik dan penguasa sebagai pemilik resmi urusan publik. Keduanya perlu disinergikan agar kehidupan publik bisa berjalan diatas rel perdamaian dan kesejahteraan.

Penguasa dan ulama adalah kubu yang selalu berebut ladang kehidupan publik. Dua kubu tersebut punya karakteristik yang berbeda dalam menjalankan aksi tafsir kehidupan publik. Penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya terkesan selalu mengedepankan naluri konteks dan rasio sementara ulama selalu menunggu isyarat teks dalam menghakimi dan mengatur kehidupan publik. Dua cara pandang yang berbeda inilah yang sering mengantarkan kepada benturan intepretasi tafsir publik dan tidak jarang mengarah kepada benturan fisik, seperti halnya kasus Lal masjid (11/7/07) di Islamabad.

Dalam tragedi berdarah tersebut memberikan gambaran masih absurdnya konsep Islam publik dalam mengatur keharmonisan relasi manusia dengan manusia. Dalam benturan fisik tersebut juga menyadarkan umat Islam di belahan dunia lainnya untuk bagaimana membuat konsep Islam publik yang harmonis dan sinergis dan tidak perlu adanya perang tafsir publik yang mengarah kepada pertumpahan darah.

Tafsir publik yang dipegang penguasa adalah tafsir yang kompleks dan tidak bisa hanya berpegang pada dua warna, hitam dan putih saja. Karena tafsir publik penguasa selalu berinteraksi dengan dunia luar yang menuntutnya harus bisa bersikap fleksibel dan tidak boleh kaku. Tafsir elastis ala penguasa inilah yang membuat kalangan tokoh agama kurang suka karena kerap sekali bertabrakan dengan tafsir publik milik mereka yang berisi dua warna itu. Oleh karena itu mereka selalu terdorong untuk 'membakar' tafsir publik penguasa yang tidak seirama dengan nilai-nilai tafsir agama mereka.

Dalam surat An Nisa ayat 59[1], penguasa sebenarnya punya legitimasi kuat untuk merebut tafsir Islam publik. Namun sayangnya dalam ayat yang sama yakni saat terjadinya kemelut yang memuncak legitimasi tersebut seakan sirna dan dicabut oleh Empunya dan berpindah tangan kepada rasulNya. Dari ayat ini pula, secara implisit memberikan celah bagi ulama bermain alibi untuk merebut tafsir publik. Karena disana tidak ada institusi yang layak menggantikan peran Rasulullah kecuali tokoh agama.
Namun begitu perang tafsir Islam publik ini tidak perlu diperpanjang dan harus segera diakhiri, selain karena kurang bermanfaat, perang tafsir ini juga tidak sejalan dengan cita-cita Allah yang ingin melihat umat manusia bergandengan tangan saling membantu dalam membangun peradaban manusia lewat dialog, cinta damai dan tidak saling memojokkan.

Dalam tafsir Islam publik ini, Islam sebenarnya punya konsep amr ma'ruf nahi munkar. Individu dalam Islam punya kewajiban yang sama untuk memasarkan Islam yang santun dan kewajiban mengontrol lingkungan masyarakatnya dan tidak hanya terkonsentrasi dengan urusan pribadinya.

Lewat konsep AMNM (amr ma'ruf nahi munkar ini), Islam resmi punya kekuatan kontrol dalam kehidupan publik. Untuk itu Islam selayaknya tidak dipasung dalam garis hierarki vertikal saja tapi tetap diberikan tempat untuk hadir dalam kehidupan horisontal. Bahkan garis vertikal Islam ini kurang banyak manfaatnya bila tidak mendorong pemeluknya untuk memiliki sense of control kepada lingkungan masyaraknya.

Namun begitu tokoh-tokoh Islam masih belum satu suara dalam menerjemahkan konsep AMNH. Konsep ini masih bias tafsir karena masih umumnya makna AMNH ini dan membuat setiap orang Islam merasa berhak melaksanakan konsep AMNH menurut kemampuanya. Namun begitu konsep AMNH ini ini bisa menyulut sikap arogan dan destruktif bila tidak diterjemahkan secara tegas. Karena AMNH ini memiliki tiga elemen penting yaitu: Kekuatan tangan, kekuatan ucapan verbal dan kekuatan nurani.

Untuk itu konsep ini harus disesuaikan kondisi pelaku AMNH agar relasi hubungan publik bisa berjalan harmonis dan saling memahami. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan konsep salah seorang ulama Islam yang mengatakan: نحن الدعاة لا القضاة. Ungkapan ini sangat pas dalam menjembatani relasi Islam publik dalam konsep AMNH. Dalam ungkapan ini telah ditarik garis tegas bahwa kekuatan tangan hanya milik penguasa, kekuatan ucapan verbal milik ulama dan kekuatan nurani milik rakyat umum.

[1] . يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء59)

Polemik UU Anti Zina di Pakistan

Oleh: M.Afifuddin A.Muchit
Slogan Islam yang sesuai dengan segala zaman, saat ini diuji integritasnya di negera Pakistan dalam menjawab persoalan diskriminasi kekerasan kepada kaum wanita. Sudah 27 tahun lamanya wanita di Pakistan dihantui bayang-bayang penerapan hukum hadd zina yang sangat diskriminatif. Karena keberadaan mereka selalu menjadi bulan-bulanan hukum peninggalan rezim Ziaul Haq tersebut. Mereka tidak berkutik saat terjadi kekerasan pemerkosaan terhadap diri mereka. Banyak dari mereka dipaksa membisu dari pada melapor ke pihak berwajib, tapi malah dijebloskan dalam penjara, dengan dalih kodhaf(menuduh orang berbuat zina tanpa ada saksi yang menguatkan) karena tidak bisa memberikan bukti kuat ketika melaporkan terjadinya pemerkosaan kepada diri mereka.
Kalau mengacu kepada konsep zina dalam Islam, orang bisa dikenakan pasal berzina apabila ada saksi empat orang dewasa yang melihat adegan tersebut. Namun apabila gagal menghadirkan empat saksi, maka sang pelapor bisa dikenakan pasal balik dengan nama kodhaf.
Definisi zina dalam Islam biasa diartikan sebuah adegan seksual di luar jalur nikah resmi yang dilakukan oleh dua orang lain jenis atas dasar suka sama suka. Namun sayangnnya hingga saat ini belum ditemukan teks resmi agama yang secara eksplisit menerangkan adegan seksual yang dilakukan atas dasar paksaan atau yang biasa dikenal dengan istilah pemerkosaan. Sehingga para perumus kebijakan di Pakistan akhirnya memasukkannya dalam satu bab dengan zina. Dan inilah problem yang sekarang menjadi perdebatan sengit di tingkat elit parlemen Pakistan.
Dengan belum ditemukanya teks tersebut, membuat posisi kaum wanita Pakistan menjadi sangat lemah di depan hukum. Sehingga tidak jarang kaum wanita harus menjadi korban dua kali sekaligus. Pertama, menjadi korban pemerkosaan, dan yang kedua dijebloskan ke dalam penjara, karena menuduh orang berzina tanpa bukti.
Dalam pandangan kaca mata orang umum, fenomena hukum hadd zina ala Pakistan ini memang menggelikan. Bagaimana tidak, seorang wanita yang melaporkan dirinya diperkosa oleh Mr.x justru malah kena pasal balik dengan tuduhan qodhaf, karena tidak mampu memberikan bukti empat orang saksi ketika dia diperkosa.
Pakistan yang terlahir dari rahim konsep two nation theory ini, sedang dilanda dilema besar berkaitan pelaksanaan hadd zina peninggalan Jenderal Ziaul Haq. Hukum Islam yang pernah dibuat politisasi rezim Ziaul Haq untuk menggalang dukungan rakyat Pakistan dalam era jihad di Afghanistan ini telah membawa ekses negatif kepada kaum hawa di Pakistan dalam hal penerapan hukum hadd zina. Karena tidak sedikit mereka menjadi korban dalam penerapan hukum tersebut, karena ketidakmampuan mereka menghadirkan bukti kuat ke pihak kepolisian saat melaporkan tragedi pemerkosaan, bahkan rawan dikenai pasal kodhaf, yang juga tidak jarang mengantarkan kaum hawa ke penjara kendati mereka adalah korban pemerkosaan itu sendiri.
Dalam penerapan hukum hadd zina ini, Pakistan tampaknya masih terkesan ambigu. Dalam satu sisi mereka masih mengagungkan teks yang menuntut empat orang laki-laki sebagai saksi dalam soal zina atau laporan pemerkosaan. Tapi dalam praktik penerapan sanksi di lapangan mereka tidak menggunakan hukum Islam seperti ranjam dalam zina atau cambuk 80 kali dalam kasus qodhaf sebagaimana termaktub dalam bunyi teks tersebut. Tetapi menggunakan media hukuman penjara sebagai penggantinya.
Ini memang anomali hukum hadd Zina yang telah membelah anggota parlemen Pakistan menjadi dua kubu antara pro dan kontra amandemen. Kubu pertama dikomando oleh partai penguasa yang pro pemerintah, yang berkeinginan kuat untuk mengamandemen hadd zina demi melindungi hak-hak prinsip kaum hawa. Kedua, kubu oposisi yang anti amandemen dan ingin tetap mempertahankan hukum lama kendati diakui hukum tersebut telah banyak merugikan pihak perempuan..
Mencuatnya tuntutan amandemen UU hadd zina di Pakistan dipicu oleh banyaknya korban penerapan UU tersebut, utamanya terhadap wanita yang terkena pasal qodhaf. Karena tidak kurang dari 7000 wanita di seluruh Pakistan telah dijebloskan dalam penjara. 80 persen diantaranya terjerat dalam satu kasus menuduh zina tanpa bukti kuat. Tuntutan tersebut memaksa elit di parlemen untuk membahas rancangan perubahan UU hadd zina tersebut. Namun begitu, tidak serta merta tuntutan tersebut bisa digolkan. Karena pihak yang menolak amandemen juga tidak kecil kekuatanya. Utamanya partai MMA yang menolak perubahan UU hadd zina, sehingga pembahasan draft perubahan hadd zina ini berjalan alot dan menegangkan, karena beberapa kali mengalami penundaan dan deadlock.
Pihak oposisi yang didominasi partai agama di bawah bendera partai MMA menolak keras draft perubahan tersebut dengan alasan tidak ada seorang pun punya otoritas untuk merubah hukum yang bersumber dari teks kitab suci. Partai nasionalis yang mendukung pemerintah juga tidak kalah keras berteriak bahwa konsep hadd zina peninggalan rezim Ziaul Haq ini sangat bertolak belakang dengan spirit Islam yang sangat melindungi hak dan kehormatan seseorang. Karena konsep hadd zina ini sudah sangat jelas menyudutkan posisi perempuan yang dipaksa harus menghadirkan empat orang laki-laki dewasa sebagai saksi atas peristiwa pemerkosaan yang menimpa kaum wanita, dan ini adalah sebuah persyaratan yang bisa dikatakan mustahil.
Untuk itu, tidak kurang dari 27 ormas di Pakistan mendukung draft perubahan hadd zina yang saat ini masih menjadi perdebatan sengit di gedung parlemen antara pro & kontra amandemen. Mereka menilai undang-undang tersebut sangat diskriminatif dengan hak-hak wanita. Mereka melakukan unjuk rasa turun ke jalan dari China Chowk sampai ke gedung parlemen, menuntut amandemen undang-undang hadd zina untuk dilakukan segera.
Selama kurang lebih 27 tahun lamanya undang-undang kontraversial ini telah menjadi hukum positif di Pakistan sejak era rezim Ziaul Haq tahun 1979. Isu amandemen UU hadd zina ini muncul dan menghangat seiring propaganda yang dilakukan presiden Musharraf untuk menjual konsep enligtened moderation di tengah publik Pakistan.
Dalam memasarkan slogannya tersebut, Musharaf masih menghadapi kendala pelik. Karena mayoritas rakyat Pakistan masih "dibelenggu" persepsi kuat tentang kesucian teks agama hingga membuat mereka ketakutan untuk keluar dari mainsterm teks kepada konteks. Kendati teks tersebut telah terbukti telah berbenturan dengan realita di lapangan dan banyak menimbulkan korban.
Persolan mendasar dari anomali hukum hadd zina ini adalah Pertama, ketidakmampuan kaum hawa yang menjadi korban pemerkosaan untuk menuntut pelaku pemerkosa ke meja hijau, karena dituntut menghadirkan empat saksi laki-laki atau saksi perempuan dengan dua banding satu. Kedua, hukum di Pakistan tidak mengenal hasil tes DNA sebagai pengganti saksi atau bukti. Ketiga, polisi diberikan otoritas penuh untuk menahan penuduh zina (korban pemerkosaan) dengan tanpa diberikan kesempatan untuk menyatakan keberatan atau meminta jaminan keamanan. Keempat, prinsip qodhaf sangat menyudutkan wanita untuk melaporkan kejadian pemerkosaan yang menimpa dirinya, karena bisa dikenai pasal balik menuduh tanpa bukti apabila ia tidak bisa membuktikan tuduhan pemerkosaan.
Amandemen UU zina di Pakistan adalah sebuah keharusan untuk mewujudkan cita rasa keadilan yang lebih humanis dan islami. Karena Islam tentunya tidak rela bila produk hukumnya dibuat dalih untuk menindas kaum lemah. Disamping itu, UU hadd zina ini nuansa politiknya lebih kental dari pada dorongan kesadaran untuk menegakkan hukum Islam itu sendiri. Karena UU tersebut lahir dari politik islamisasi yang dilancarkan oleh rezim Ziaul Haq untuk menarik dukungan kalangan agamawan untuk mendukung politiknya ketika menggulingkan mendiang Ali Bhutto, yang juga ayah mantan perdana menteri Pakistan Benazir Bhutto.
Berangkat dari anomali penerapan hadd zina di Pakistan ini dapat dipetik pelajaran bahwa penerapan syariat Islam secara membabi buta tanpa melihat konteks realitas sosial masyarakat dapat menjadi bumerang dan konflik. Untuk itu slogan Islam adalah solusi tampaknya perlu dikoreksi ulang. Karena ternyata instrumen hukum penerapan hadd zina ini telah menjadi antitesis terhadap slogan tersebut..
Ini merupakan pelajaran berharga buat umat Islam di Indonesia, yang saat ini sedang dibuai euforia penerapan syariat di beberapa daerah, agar tidak gegabah dalam menerapkan syariat Islam secara membabi buta. Karena akibatnya akan fatal. Ini bukan berarti penulis anti syariat Islam, tapi lebih melihat kepada maslahat yang lebih luas. Yakni dengan tidak memaksakan diri untuk menerapkan bunyi teks agama di lapangan tapi juga bisa arif melihat konteks. Jadi, teks dan konteks perlu disinergikan dalam bingkai kemaslahatan umat. Karena Islam adalah agama penebar rahmat untuk sekalian alam, bukan agama diskriminatif. Waallahu a'lam bissowab.