Saturday, March 22, 2008

Khilafah Islamiyah: Tuntutan Agama Atau Fanatisme ?

Oleh: M.Afifuddin*
Membaca tulisan saudara NRY (Nur Rohim Yunus) di buletin Al-Ibrah edisi 9 (Sabtu 21 Juli 07) yang berjudul “Dekonstruksi Khilafah Islamiyah 2” yang tidak lain adalah kritik tajam atas pemikiran AMG (Abdul Muqsit Ghazali), salah seorang pentolan kelompok JIL yang tidak setuju konsep Khilafah Islamiyah diusung kembali di era modern saat ini, terlihat absurd antara idenya yang pro khilafah dengan ide AMG yang anti Khilafah Islamiyah. Ini bisa dilihat dari gaya bahasa judul yang digunakan NRY untuk membantah pemikiran AMG yang justru malah membenarkan pemikiran AMG dalam kata: Dekonstruksi Khilafah Islamiyah. Karena kata “De” memberikan arti kata negasi dari kata yang menjadi gabungannya, dan ini jelas bukanlah pengertian yang dinginkan NRY. Karena ia adalah sosok pengusung berat konsep tradisi lama khilafah Islamiyah. Seharusnya NRY harus konsisten dengan judul di tulisan pertamanya dengan menulis Reaktualisasi Khilafah Islamiyah 2 yang dengan jelas ingin tetap mempertahankan konsep tradisi Khilafah Islamiyah bukan dengan kata Dekonstruksi. Atau kalau mau tetap memaksakan dengan judul yang sama NRY seharusnya menambahkan kata MENGGUGAT IDE di depan kata DEKONSTRUKSI KHILAFAH ISLAMIYAH atau menjadikan sub judul pertama: Membendung Ide Dekonstruksi Khilafah Islamiyah menjadi judul utama.

Kerinduan seorang NRY akan lahirnya sebuah khilafah baru di era modern saat ini memang patut mendapat apresiasi dan penghargaan tinggi. Sebagai seorang muslim sejati ditambah backgroundnya yang syariah minded, mendirikan Khilafah Islamiyah baginya adalah sebuah solusi dan keniscayaan. Dalam pandangan NRY Islam sebagai agama final dan universal dari agama-agama samawi punya misi besar untuk mendirikan imperium Islam di bawah bendera Khilafah Islamiyah. Namun sayang NRY tidak punya konsep atau jawaban konkret dan applicable, minimal konsep global yang bisa dijadikan acuan untuk bersatunya Negara-negara Islam di bawah bendera Khilafah Islamiyah. NRY hanya pandai memainkan slogan-slogan "beku" seperti Islam adalah agama syamil, kamil mutakamil dan slogan apologi: sesuatu yang tidak bisa dicapai secara paripurna maka tidak ditinggal semuanya tanpa bisa memberikan gambaran konkret dan konstruktif tentang bagaimana bentuk bangunan persatuan umat Islam itu sendiri.

alam kritik tajamnya atas tiga pokok pemikiran AMG: Pertama, tidak adanya rumusan ideal tentang khilafah Islam yang diamini oleh Negara-negara Islam. Kedua, beragamnya tafsir syariat Islam. Ketiga, sejarah kelam Khilafah Islamiyah, NRY kembali bermain drama retorika dengan jawaban-jawaban yang mengambang dan terkesan membingungkan.Dalam menanggapi pertanyaan pertama, NRY tampaknya masih bingung membedakan terma khilafah. Ia terkesan melarikan makna khilafah kepada beragamnya madzhab dalam tubuh Islam. Padahal yang dinginkan AMG dalam terma khilafah adalah susahnya membuat konsensus yang disetujui umat Islam seluruh dunia untuk mengangkat seorang pemimpin Islam dalam lintas negara-negara Islam demi membawa bendera khilafah Islam, bukan dalam ranah beragamnya madzhab yang bisa dipilih sesuai kebutuhan.

Isu pengangkatan pemimpin Islam dalam payung khilafah negara-negara Islam inilah isu yang paling krusial dan susah diwujudkan untuk tidak mengatakan mustahil di era nation state saat ini, dimana negara-negara Islam telah tersebar di wilayah-wilayah yang terpisah dan independen. NRY memang boleh gelisah dengan masih terpecahnya umat Islam saat ini. Namun menjawab kegelisahan dengan langsung membentang bendera Khilafah Islamiyah sebagai solusi pemersatu umat Islam bukanlah jawaban yang "cerdas". Penulis tidak sekali-kali menafikan akan bangkitnya imperium Islam di kemudian hari, namun di era nation state yang saat ini masih dianut hampir seluruh negara-negara Islam tentunya tidak mudah untuk langsung menghapus sistem tersebut menjadi sebuah sistem khilafah secara tiba-tiba.

Umat Islam memang tidak harus menyerah dengan realita sistem nation state saat ini, namun setidaknya di era masih terpecahnya umat saat ini apakah tidak lebih baik menggunakan konsep fiqh awlawiyatnya (fiqh prioritas) Dr.Yusuf Qardhawi ?. Penulis sangat seide dengan tulisan Bang Yapono: Khilafah Islam just for Fun and Romance di web PPMI Pakistan (www.ppmipakistan.or.id) yang terlihat arif dan bijak dalam melihat kondisi umat Islam saat ini. Kondisi umat yang masih terbelakang dan lemah ini memang tidak seharusnya diforsir tenaganya untuk mendukung fanatisme khilafah yang masih "gelap" prospeknya yang notabene adalah wilayah politik praktis. Lebih baik umat Islam setempat diajak berfikir dengan persoalan yang ada di depannya, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kriminalitas, bencana alam, eksploitasi negara asing atas kekayaan wilayah umat Islam setempat dll.

Kalau umat Islam sudah bisa diajak berpikir secara logis seperti ini maka tahapan persatuan umat yang mengarah kepada bentuk khilafah adalah sebuah kemungkinan yang bisa direnungkan ulang dalam bingkai kemaslahatan umat. Karena Islam memang selalu mendorong umatnya untuk bersatu dalam tali Allah kendati persatuanya masih belum menemukan bentuk yang ideal dalam era modern ini. Namun persoalannya sekarang adalah umat Islam saat ini terkesan masih "malas" diajak berfikir dan berdialog. Mereka lebih suka mengeluh dengan keadaan tanpa mampu membuat terobosan-terobosan ide brilian dan solutif, serta mudah terombang ambing dalam gelombang hegemoni dunia Barat khususnya negara Paman Sam yang saat ini terus mempermainkan negara-negara muslim. Untuk menjawab hegemoni Barat ini, umat Islam saat ini sering kali suka tergoda dengan romantisme Islam masa lalu. Sejarah keemasan khilafah Islam masa lalu selalu saja digelar dengan bahasa yang "berbusa-busa" untuk meyakinkan umat agar kembali kepada sistem yang lama.

Keberhasilan khilafah Islam masa lalu tidak jarang dijadikan dalil kebersatuan umat. Bersatunya umat memang sebuah impian untuk menjawab hegemoni Barat, namun apalah artinya bersatunya umat kalau otak mereka masih kosong dengan ilmu pengetahuan. Menyatukan umat dengan modal otak kosong hanya akan melahirkan fanatisme buta dan justru akan menjadi permainan dan bahan tertawaan kaum maju.

Selain persoalan mendasar malasnya berfikir umat Islam saat ini, juga karena fanatisme agama yang berlebihan sehingga terkesan tidak mau menerima atau mengolah ide-ide dari luar. Mereka lebih suka mengagung-agungkan slogan Islam sebagai agama yang paripurna dan lengkap, sehingga menafikan ide dari luar Islam. Mayoritas dari mereka masih meyakini bahwa persoalan apa pun dapat ditemukan jawabanya dalam teks-teks agama. Ideologi seperti ini tentunya tidak bisa diharapkan banyak untuk membangun sebuah peradaban Islam yang manusiawi, arif dan bijaksana. Karena tidak ada sebuah peradaban berdiri linier tanpa ada proses tukar menukar dan asimilasi dari pihak luar.Khilafah wadah pemersatu umat?

Kalau kita membaca ulang dengan seksama tentang terma khilafah dalam al-Qur'an, maka ia sebenarnya adalah sebuah makna otoritas dan wewenang penuh yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan anak cucunya untuk mengurus persoalan-persoalan isi bumi dengan adil dan bijak. Namun terma khalifah yang tidak lain adalah simbol wilayah publik dalam menjaga keharmonisan relasi hubungan antar manusia seakan telah bergeser kepada makna imperium. Pergeseran makna ini memang tidak datang secara tiba-tiba tapi melalui proses sejarah dimana umat Islam pada waktu itu dapat diikat dalam sebuah wadah imperium Islam atau dinasti yang mereka sebut dengan khilafah Islamiyah.Disana juga nyaris tidak ada satu teks pun, baik yang tersurat atau yang tersirat secara eksplisit menyebutkan bahwa khilafah adalah simbol pemersatu umat.

Munculnya tafsir persatuan umat dalam wadah khilafah ini tidak lebih dari sekedar tafsir konteks dan realita. Kendati Islam antusias mendorong umatnya agar bersatu dan selalu mengobarkan sentimen ukhuwwah Islamiyah untuk menyatukan umat, namun penulis kurang sejalan apabila sistem khilafah ini dijadikan simbol pemersatu umat. Karena khilafah ini adalah sebuah wilayah politik praktis yang notabene alat pemaksa atas umat untuk tunduk dan patuh. Sedangkan persatuan dan ukhuwwah Islam adalah wilayah rasa yang tidak bisa dipaksa tunduk kepada bentuk sebuah sistem khilafah atau negara.

Dalam al-Qur'an, Allah sebenarnya hanya menyebutkan sebuah tali yang disandarkan atas namaNya untuk media mempererat persatuan umat. Namun sering kali terma tali ini ditafsirkan kepada perlunya sebuah ikatan resmi untuk menyatukan umat yang tidak lain bagi kalangan politik Islam mengarah kepada sebuah sistem khilafah Islam. Bagi penulis, tafsir tali sah-sah saja ditafsirkan ke arah sana, namun kebersatuan umat bagi penulis lebih condong kepada masalah hati dan rasa. Karena hati siapa pun tidak bisa dipaksa untuk menyukai sesuatu apalagi bersatu jika ia memang tidak sejalan dan seide dengan sesuatu tersebut.

Kita analogkan kebersatuan umat ini dalam miniatur keluarga kecil. Kebersatuan kita dalam anggota keluarga adalah sebuah realita namun apakah kita bisa menjamin bahwa kita juga selalu sehati sekata dengan anggota keluarga kita? Jadi, negara atau khilafah tidak punya kekuatan sedikit pun untuk memaksa umat untuk bersatu walaupun dengan label negara Islam, jika dalam negara Islam atau khilafah tersebut masih bersemi unsur yang memecah belah umat seperti diskriminasi dan ketidak-adilan dll.

Kendati Islam sudah tidak memberikan tempat bagi berseminya diskriminasi dalam bangunan Islam namun dikotomi Arab dan non-Arab selalu saja menjadi momok saat akan mengangkat seorang pemimpin Islam dalam perspektif sistem khilafah. Ini belum ditambah dengan sentimen ahlul baitnya kaum Syiah yang menyatakan tidak ada yang layak memegang tampuk kepemimpinan Islam kecuali dari keluarga keturunan Nabi Muhammad saw. Berangkat dari sini, maka persatuan umat harus berangkat dan dibangun dari nilai-nilai kultural bukan struktural, karena negara atau khilafah hanyalah sekedar sistem kontrak sosial yang bersifat mengikat dan mengontrol perilaku individu-individu di dalamnya bukan media penyatuan rasa.
Allahu a'lam* Mahasiswa S-2 Fak. Sosial Science Jur. Education IIU Islamabad.