Sunday, October 28, 2007

Menguji Keampuhan Jurus Musharraf

Oleh: M Afifuddin Muchit

Manuver politik presiden Musharaf untuk mempertahankan posisi kursinya sebagai presiden Pakistan ditempuhnya dengan berbagai cara. Jabatan lima tahun sebagai presiden resmi selesai pada tahun ini, namun tampaknya ia enggan melepas jabatan tersebut dan terkesan memaksakan kehendak untuk menggelar pemilu presiden lewat majlis parlemen lama yang juga akan selesai masa tugasnya pada tahun yang sama. Kendati kebijakan tidak populer ini banyak mengundang kritik keras dari berbagai kalangan politisi dan pakar hukum, namun akhirnya pemilu presiden (06/10/07) tersebut berjalan dengan lancar dan aman walau tanpa kehadiran partai oposisi yang mengundurkan diri dan memboikot pemilu tersebut karena dinilai melanggar hukum.

Pemilu presiden yang diikuti tiga kontestan termasuk presiden Musharaf dimenangkan dengan fantastis dan mencolok oleh Musharaf dengan meraup suara mutlak 98%. Namun kemenangan Musharaf tersebut masih menyisakan masalah besar tentang keabsahan Musharraf menjadi kontestan pemilu presiden, karena ia masih resmi menyandang baju militer sebagai KSAD. Dua kontestan pemilu presiden lainnya tidak menerima kekalahan mereka dan resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung Pakistan untuk membatalkan kemenangan Musharaf, karena dinilai menyalahi UU konstitusi Pakistan yang tidak membolehkan seorang kontestan berbaju militer untuk ikut dalam pemilu presiden.

Walau pesta kemenangan Musharaf ini harus tertunda sejenak, karena harus menunggu keputusan MA Pakistan namun bisa diprediksikan bahwa pengesahan kemenangan ini hanya menunggu waktu saja, karena MA dapat dipastikan tidak akan mampu unjuk gigi untuk membatalkan kemenangan rezim dari militer tersebut.

Dalam beberapa kali rentetan peristiwa sejarah demokrasi di Pakistan dari sejak era jenderal Ayub Khan pada tahun 1958 hingga era Musharaf sekarang, MA tercatat tidak mampu berbuat banyak ketika rezim militer berkuasa kecuali hanya mengesahkan politik penguasa. Indikasi mandulnya MA dalam menegakkan supremasi hukum terlihat tidak digubrisnya putusan MA oleh pemerintah, yang membolehkan perdana menteri Nawaz Syarif untuk pulang kampung. Namun rezim Musharaf bersikeras menolak Nawaz Syarif untuk pulang kampung dulu sebelum menggenapkan masa 10 tahun masa pengasingan seperti halnya klaim perjanjian yang telah ditanda-tangani antara rezim Musharaf dan Nawaz Syarif ketika Musharaf berhasil melakukan kudeta tidak berdarah kepada pemerintahan Nawaz Syarif.

Realita ini memberikan gambaran betapa kuatnya hegemoni militer ketika memegang kekuasaan, sehingga sebuah institusi MA yang seharusnya bebas dari intervensi ini ternyata masih gentar dengan penguasa rezim militer.

Politik Dagang Sapi


Musharaf sadar bahwa posisinya sebagai presiden masih sangat rentan. Ia membutuhkan partner untuk menguatkan legitimasinya di kursi presiden. Ia melihat bahwa sosok yang bisa diharapkan dan yang paling dekat dengan mainstrem politiknya adalah Benazir Bhutto. Tercatat beberapa kebijakan Musharaf banyak diamini oleh mendiang putri Zulfikar Ali Bhutto ini, seperti UU perlindungan kaum wanita, Operasi militer melawan pejuang militan Lal Masjid di Islamabad, perang terhadap ekstrimisme, pengiriman tentara militer ke wilayah perbatasan Pakistan-Afghanistan untuk menumpas sisa-sisa kekuatan Taliban dan jaringan Al-Qaedah, dll.

Dalam deal yang dilakukan Musharaf dengan Benazir Bhutto di London beberapa minggu yang lalu, Musharraf memberikan tawaran kue menarik berupa perdana menteri, menggugurkan semua tuduhan korupsi dan pencucian uang yang dilamatkan padanya dan suaminya lewat paket rekonsiliasi nasional atau NRO (National Reconciliation Ordinance) dan rela melepas baju militernya jika kemenangannya disahkan oleh MA.

Gayung pun bersambut, karena BB meneriwa tawaran tersebut. Fenomena politik dagang sapi ini tidak diragukan lagi untuk melahirkan symbiosis mutualism di kedua belah pihak. Yaitu dengan menguatnya legitimasi Musharaf sebagai presiden Pakistan sementara BB sendiri akan dapat menikmati kembali empuknya kursi perdana menteri untuk yang ketiga kalinya.

Ini memang sebuah wajah ironi bagi negara Pakistan yang telah lama mencita-citakan tegaknya demokrasi yang legitimed dan egaliter, namun selalu saja ditebas oleh pedang status quo militer atau kongkalikong militer sipil yang bernafsu mencari dan mempertahankan kekuasaan. Oleh karenanya, para pengamat dan kaum oposisi sangat menyayangkan keputusan BB tersebut. Karena deal ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Pakistan. Karena rakyat Pakistan tidak diuntungkan sama sekali dengan deal politik daging sapi ini dan justru akan membukakan celah baru bagi tumbuh suburnya penyakit korupsi.

Politik Belah Bambu dan Adu Domba


Politik Musharaf menawarkan paket rekonsiliasi nasional (NRO) tidak lain hanya sekadar politik belah bambu untuk melempangkan jalan BB agar bisa balik kampung dan bergandengan tangan membentuk pemerintahan baru dengan dirinya, tapi tidak bagi Nawaz Syarif. Musharaf tetap mengharamkan Nawaz Syarif untuk balik kampung sampai ia menggenapkan 10 tahun masa hukuman pengasingan.

Jurus politik Musharaf dengan menggandeng BB sebagai partner dalam membentuk pemerintahan baru cukup ampuh untuk membendung sekaligus memecah kekuatan oposisi yang bersatu dalam APDM (All Parties’ Democratic Movement) untuk menggulingkan rezim Musharaf. Karena BB sebelumnya termasuk diantara barisan oposisi dan bahkan sempat menandatangani piagam bersama untuk tidak bekerja sama dengan rezim militer.

Dengan telah dikantonginya kartu as BB ini, berarti legitimasi Musharaf duduk di kursi presiden untuk yang kedua kalinya akan semakin kuat dan mantap. Karena BB bersama dengan partainya PPP (Pakistan People’s Party) adalah partai besar yang punya basis massa akar rumput yang sangat kuat, hampir di empat wilayah propinsi di negara Pakistan khususnya wilayah propinsi Sindh, tempat lahirnya BB. Mungkin satu-satunya wilayah yang agak ‘angker’ bagi PPP adalah propinsi Punjab. Karena wilayah tersebut dikenal sebagai daerah basis kekuatan partainya Nawaz Syarif, PML-N (Pakistan Muslim Leage ) Nawas
Dalam paket NRO ini Musharaf terlihat sebagai sosok politikus handal yang sangat cerdik mengadu domba lawan politiknya. Sehingga ia tetap bisa eksis duduk di puncak kekuasaan walau dengan menghalalkan segala cara dalam merengkuhnya.

Wednesday, October 3, 2007

Puasa dan Kesalehan Sosial

Oleh: M Afifuddin Muchith
Mahasiswa Pasca Sarjana Fak Sosial Science IIU Islamabad, Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri

Berbicara puasa maka orang akan langsung terbayang kepada sosok yang menahan lapar dan haus sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari di ufuk barat. Upacara keagamaan ini merupakan sebuah ritual umat Islam yang lumrah dilakukan tiap tahun ketika menjelang bulan suci Ramadhan tiba. Ritual tahunan ini merupakan sebuah perayaan yang disambut dengan suka cita oleh segenap umat Islam di seluruh dunia. Karena bulan tersebut memang selalu menjanjikan berbagai hidangan akherat yang menggiurkan mulai dari ampunan dosa sampai pemburuan sebuah moment penting dan sangat berharga dari seribu bulan atau yang lebih dikenal dengan terma malam lailatul qadar.

Puasa merupakan salah satu pilar fundamental tegaknya bangunan Islam. Diantara motivasi dan cita-cita besar Allah mewajibkan umat Islam berpuasa adalah agar menjadi manusia yang bertaqwa kepadaNya. Kelebihan puasa dari ritual upacara ibadah lainnya dalam Islam adalah karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia. Berangkat dari sinilah, Allah dalam sebuah hadis qudsi di kitab Bukhori dan Muslim berfirman dengan tegas bahwa puasa adalah milikNya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya.

Tingginya gairah beramal shaleh umat Islam di bulan suci Ramadhan ini memang luar biasa, sehingga orang tidur pun punya daya nilai ibadah apalagi orang yang benar-benar konsen dan fight mengerjakan dan mengumpulkan pundi-pundi amal saleh untuk tabungan amal di hari kelak nanti. Namun begitu, rata-rata umat Islam masih suka tergoda dan terjebak dengan nuansa hingar bingar pentas seni "kosmetik" dan "gincu" bulan suci ini, karena mereka belum bisa menjiwainya dalam perilaku shalehnya di bulan-bulan lain di luar Ramadhan. Ini memang kekurangan umat Islam dalam beragama yang masih terpesona dengan warna “gincu” teori ekonomi, alias suka menjual barang-barang mewah di pasar yang menjanjikan provit yang lebih dan belum mengarah kepada bentuk nilai-nilai keikhlasan yang murni dan rasa cinta kepada Allah.

Relasi Keshalihan Pribadi Dengan Keshalihan Sosial

Tidak diragukan nuansa perung kosong yang terbingkai dalam bentuk puasa akan selalu mendorong seorang hamba untuk tidak banyak melakukan aktifitas fisik yang berat dan lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada sang Penciptanya, karena rasa perih dan haus yang dideritanya memang tidak memungkinkannya untuk banyak bergerak kecuali hanya komunikasi kontak batin antara sang hamba dan Penciptnya. Berangkat dari sinilah mengapa dimensi interaksi ibadah puasa begitu kental mewarnai pribadi muslim dengan Tuhannya. Elemen inilah yang menciptakan nuansa hubungan vertikal begitu menonjol dan nyaris melupakan atau bahkan memutus hubungan horisontal. Padahal kalau kita mau renungkan lebih mendalam, dimensi vertikal ini selalu akan berbanding lurus dengan dimensi garis horisontal.

Kentalnya nuansa individual seorang hamba dengan Tuhannya dalam dimensi ibadah puasa ini karena pesan tafsir yang banyak diadopsi kaum muslimin dari makna taqwa yang mengarah kepada makna kedekatan personal seorang hamba kepada Penciptanya. Ini merupakan sebuah makna konvensional taqwa yang banyak dipahami oleh umat Islam selama ini. Namun kalau kita mau membaca ulang makna taqwa yang terdapat pada surat al-Baqarah 177 maka ia punya makna yang lebih holistik dan komprehensif yang tidak hanya mengarah kepada dimensi vertikal hamba dan Tuhannya saja, akan tetapi punya dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, membebaskan budak (menyantuni orang dhuafa) sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial

Bulan Ramadhan ini sebenarnya punya maksud dan nilai yang sangat mulia yang tidak hanya terbatas pada pembentukan pribadi-pribadi yang shaleh tapi juga membentuk karakter building sebuah masyarakat yang shaleh dan kokoh. Karena puasa ini sebenarnya sarat dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Mengembalikan Fitrah Manusia

Diantara cita-cita Allah menciptakan manusia adalah agar saling mengasihi, menolong antar sesamanya dan menjauhi sifat egoisme. Dengan dibekali akal fikiran yang sehat serta hati nurani yang jernih, manusia diharapkan mampu menjadi pengayom yang adil terhadap semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Namun sayang antara cita-cita dan realita terkadang harus berbenturan. Karena sering kali cita-cita mulia ini tidak bisa tersampaikan dengan baik karena sifat dan ego manusia yang sudah dikuasai oleh nafsu syetan, sehingga lupa akan jati diri dan tugas yang diembannya. Kendati demikian, Allah tidak patah arang dan masih tetap menaruh harapan besar akan kembalinya fitrah manusia, karena manusia adalah makhluk yang dapat menerima peringatan dan mau kembali kepada jati diri sucinya.

Diantara media yang digunakan Allah untuk mengembalikan manusia kepada fitrah aslinya adalah puasa. Dengan media puasa ini, manusia diharapkan dapat ingat dan mau kembali kepada jati dirinya yang suci dan luhur dengan hadirnya kembali nilai-nilai kemanusian yang arif dan bijak. Ketika nilai fitrah manusia tersebut muncul kembali, maka nilai persamaan dan solidaritas atas penderitaan sesama makhluk hidup akan dapat hadir kembali mewarnai hari-hari anak Adam, seiring nilai-nilai yang diajarkan dalam media puasa.

Ketika manusia (muslim) sudah dapat menangkap nilai yang terkandung dalam puasa, maka diharapkan ia mampu membebaskan dirinya dari bayang-bayang egoisme dan menghayati kembali nilai-nilai fitrah suci dalam dirinya. Dengan demikian, maka ia sebenarnya telah tersadar akan posisi dirinya sebagai makhluk sosial sejati yang harus peka dengan problematika kehidupan sosial yang ada di sekitarnya, dalam arti tidak lagi berpangku tangan dan justru akan menjadi ringan tangan membantu sesamanya yang masih dirundung duka dan nestapa. Gambaran kepekaan sosial ini akan kita temukan dengan gamblang saat orang-orang yang berpuasa tersebut diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah di penghujung akhir puasanya sebagai media penyempurna ibadah puasanya.

Ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap kesalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan kesalihan pribadi kepada kesalihan sosial. Karena Ia tidak akan ragu-ragu dan segan menolak puasanya pribadi-pribadi muslim manakala mereka belum menunaikan ibadah sosial berupa zakat fitrah.

Namun patut disayangkan, cita-cita puasa yang punya nilai kemanusian yang tinggi masih belum banyak disadari oleh insan yang berpuasa itu sendiri. Mereka masih saja terjebak dengan ritual upacara tahunan tersebut tanpa ada perubahan-perubahan yang mendasar pada perilaku kehidupan kesehariannya. Mereka hanya mengejar kesalihan pribadi tanpa ada ketersambungan sekali dengan kesalihan sosial. Fenomena ini memang bisa dipahami, karena masih jarang ulama atau intelektual yang membedah puasa dalam perspektif ibadah sosial. Para tokoh Islam lebih suka mengurai puasa dari sudut pendekatan garis vertikal tanpa memberikan relevansinya dengan garis horisontal sehingga membuat puasa tereduksi dalam media privat dan kehilangan daya kontrolnya dalam perilaku kehidupan muslim di tengah kehidupan bermasyarakat sosial. Allahu A’lam

Sunday, September 16, 2007

Ketika Kecerdasan Sosial Tercabut Dari Akarnya

Oleh: M.Afifuddin Muchit*)
Pendahuluan

Sejarah manusia adalah sejarah conflic of interest. Sejak manusia dideklarasikan sebagai khalifah di muka bumi ini, instrumen tuduhan negatif dan kecurigaan sudah melekat pada diri manusia, karena potensinya yang corrup, arogan dan suka menumpahkan darah antar sesamanya
[1]. Tesis ini diperkuat oleh pakar politik legendaris dari Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengatakan: man was essentially selfish, egoistic and self-seeking[2]. Elemen negatif ini disebabkan karena manusia lebih suka dibuai oleh pelukan hangat nafsu dari pada pelukan ‘panas’ akal sehatnya dalam memutuskan sebuah perkara. Padahal akal adalah instrumen yang paling berharga untuk membedakan antara benar dan salah.

Karena kekurangan manusia inilah, malaikat melakukan “unjuk rasa” di depan Allah agar mengoreksi kembali keputusaNya tersebut karena ia sangat membahayakan dunia dan menawarkan diri untuk menempati posisi tersebut, karena merasa memiki kemampuan dan superioritas yang lebih di banding manusia, ditambah track recordnya yang mengagumkan: loyalitas yang tinggi dan senantiasa membesarkan simbol-simbol kebesaran Allah. Namun Allah tetap tidak bergeming dengan keputusaNya kendati dengan segala kekurangan yang dimiliki manusia, karena manusia memiliki satu kelebihan yang tidak dipunyai oleh malaikat dan jin, yaitu ilmu dan kebijaksaan.

Dari lipatan pita rekaman sejarah manusia tersebut, kita punya satu titik pijakan, bahwa dalam diri manusia itu terdapat dua potensi besar antara positif dan negatif sekaligus. Oleh karena itu Allah tidak bosan-bosan memberikan bimbingan kepada manusia agar senantiasa berpegang pada pesan-pesan Allah supaya dapat menjalankan misi kekholifahanya di muka bumi ini secara benar dan bertanggung jawab sesuai ilmu yang dimilikinya

Kholifah adalah sebuah terminologi yang diambil dari bahasa Arab yang bermakna pengganti. Sebuah terma yang menggambarkan posisi manusia yang tinggi sebagai simbol ‘bayangan’ Allah di muka bumi, untuk mengurus dan mengelola permasalahan manusia dan makhluk penghuni bumi lainnya secara adil dan bijaksana, agar kesejahteraan dan kedamaian bisa hadir di muka bumi.

Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa terpisah dari komunitasnya, manusia punya naluri political animal[3] . Sebuah naluri ketergantungan kepada sebuah komunitas sekaligus naluri untuk menguasai. Naluri seperti ini perlu dikontrol dalam norma-norma aturan dalam masyarakat agar arogansi dan ketegangan sosial bisa diminimalisir dan kehidupan bisa berjalan di atas roda saling menghormati dan menghargai. Oleh karenanya, lahirlah konsep kontrak sosial yang mengandaikan supremasi komunitas masyarakat di atas interes individu[4].

Kendati kekurangan dalam diri manusia bersifat inherently, namun manusia juga punya naluri positif: tidak ingin disakiti atau dipasung hak-haknya sebagai manusia. Ini mengilustrasikan adanya bentuk toleransi dan saling menghormati, yang mana ujung dari elemen positif ini adalah anti kekerasan,intimidasi dan lebih mengedepankan cinta dan perdamaian dari pada pertumpahan darah. Potret cinta perdamaian ini bisa dilihat dengan transparan saat Amerika mau mengganyang Iraq. Hampir seluruh warga dunia turun ke jalan untuk mengutuk tindakan unilateral Paman Sam yang biadab itu[5], karena manusia punya kecenderungan naluri anti kekerasan dan suka bersimpati terhadap orang yang dipasung hak kemanusianya tanpa perlu memandang ras,suku,agama manusia.

Oleh karena itu, manusia sebagai insan yang berakal dituntut untuk bisa belajar bekerja sama dengan sesamanya dan belajar memahami watak dan karakter manusia agar kehidupan manusia bisa berjalan damai dan harmoni dan tidak perlu adanya gejolak-gejolak sosial yang justru akan merobohkan bangunan kebersamaan kemanusian.

Relasi Kaum Terpelajar dan Sosial Masyarakat

Dalam era primitif, keberadaan manusia dan lingkuanganya masih sangat simple. Mereka hanya mewariskan ilmu keahlian fisik kepada anak keturunannya untuk bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup
[6] sekaligus keahlian dalam membentengi diri dari ancaman binatang liar atau manusia jahat[7]. Namun seiring perubahan zaman yang terus berjalan, perkembangan manusia juga bergerak dengan cepat dan dunia seakan sudah tanpa batas. Fenomena ini menuntut manusia tidak hanya menguasai keahlian fisik, tapi keahlian olah fikir juga perlu mendapat perhatian serius, karena harga manusia sekarang tergantung bagaimana ia mampu memaksimalkan kecerdasan akalnya.

Manusia yang telah dianugrahi kecerdasan akal oleh Allah punya tanggung jawab menggunakan kecerdasan akalnya untuk menjawab setiap persoalan dan problem sosial yang terjadi di tengah komunitasnya. Oleh karena kecerdasanya itu, manusia diberi gelar agent of change. Ini memberikan indikasi bahwa relasi antara kaum terpelajar dan masyarakat adalah sangat kental. Karena di tangan kaum terpelajarlah, hitam putihnya nasib sebuah masyarakat. Dan dengan kecerdasan akalnya pula, manusia diharapkan dapat bersikap dan berfikir secara kritis, dinamis dan konstruktif untuk membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia.

Aktor agent of change yang biasa diwakili oleh para aktifis sekolah atau kampus masih punya tanggung-jawab lain untuk mengkonsolidasi dan memformulasikan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti nilai kultural, agama, sejarah dll. Mereka juga bertanggung-jawab untuk menjaga nilai positif dalam masyarakat, merancang peta masa depan masyarakat dan selalu peka terhadap perubahan dan gejolak dalam masyarakat[8].

Paradoksal Kaum Intelektual

Umumnya kaum terpelajar dimanapun berada punya posisi terhormat di mata masyarakat. Posisi ini dilegitimasi oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi: Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman darimu dan orang-orang yang dikaruniai ilmu dengan beberapa tingkat. Namun demikian, sosok kaum terpelajar/intelektual saat ini sedang dipertanyakan gelarnya sebagai agent of change. Karena alih-alih mampu mengubah bentuk masyarakat yang konsumerisme dan hedonisme, kaum terpelajar saat ini justru ‘terhanyut’ dalam arus negatif tersebut. Ini bisa ditelisik dari motivasi kaum terpelajar ketika mengais ilmu. Rata-rata motivasi mereka adalah bagaimana bisa mendapat kerja tanpa dibarengi komitmen bagaimana membentuk masyarakat idealis. Kendati motivasi tersebut bisa disahkan secara logika, namun secara moral motivasi tersebut akan mengkerdilkan predikatnya sebagai agent of change. Karena ia hanya akan menjadi aktor yang pasif dan cuma dapat mengikuti arus global atmosfir masyarakat tanpa ada sense of control terhadapnya.

Ketika aktor pengais ilmu ini motivasinya mencari kerja per se tanpa dibarengi komitmen membangun masyarakat yang idealis, maka motivasi ini sedikit banyak akan mengamini bentuk-bentuk materialisme yang mana ujung-ujungnya adalah konsumerisme dan hedonisme itu sendiri. Oleh karena itu tidak heran, jika kaum intelektual yang pernah duduk di kursi KPU pada pemilu kemarin, kendati dari kaum aktifis kampus yang dinilai steril dari kepentingan kelompok tertentu, masih saja tersandung masalah korupsi, karena motivasi mereka juga tidak jauh beda untuk bagaimana memanfaatkan peluang dan kedudukan yang terhormat bukan bagaimana menunaikan amanat rakyat dengan integritas tinggi.

Inilah yang membuat masyarakat Indonesia skeptis dan pesimis terhadap masa depan Indonesia dan tidak tahu kepada siapa lagi mereka akan menitipkan kepercayaan ini, setelah kaum intelektual dan terpelajar ternyata tidak jauh berbeda dengan bandit-bandit negara yang suka makan uang negara. Skeptisme masyarakat tersebut tampak trasparan pada pemilu 2004 kemarin, yang mana golput tampil sebagai pemenang pemilu[9]. Ini menggambarkan betapa dahsyatnya skeptifitas rakyat atas retorika-retorika kosong kaum intelektual yang terbungkus dalam partai politik, institusi pemerintah atau NGO.

Lalu bagaimana caranya mengembalikan citra kaum intelektual yang terpuruk tersebut ? Tidak ada jalan lain, kecuali para kaum intelektual mau kembali memakai jubah agent of change dan melempar jauh jubah agent of interest. Agent of change adalah sebuah terma untuk membina dan mengarahkan masyarakat kepada positif thingking dan menjunjung tinggi asas keadilan sosial.

Paulo Freire seorang pakar pendidikan dari Brazil memberikan definisi terhadap orang yang layak menyandang predikat intelektual adalah mereka yang konsisten menafsirkan dan memberi makna terhadap hidupnya di dunia dan dengan turut serta memberikan gagasan bagaimana cara memandang dunia[10]. Definisi intelektual Paulo Freire ini menggambarkan peran aktif kaum intelektual dalam berdialog dan berkomunikasi dengan masyarakat dalam proyek sosial yang ideal dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab. Paulo Freire paling anti dengan segala bentuk dominasi dan menyatakan perang terhadap penguasa yang otoriter dan pro status quo. Ia juga mengkritik kaum gereja yang tidak bisa bersikap netral terhadap kaum lemah dan tertindas. Gereja malah lebih suka memback up penguasa demi untuk menjaga stabilitas sosial dan meminta kepada pengikutnya untuk diam dan ikut aturan penguasa[11].

Namun negeri Indonesia saat ini tidak dalam drama hegemoni atau dominasi penguasa. Namun sebaliknya, pemerintah di bawah SBY justru nyaris miskin hegemoni atau dominasi. Ia hanya mampu berupaya membangun istana wibawa di atas puing-puing krisis multidimensi.

Arah Kompas Lokomotif Ilmu Pengetahuan

Sebuah pertanyaan mendasar muncul: Knowledge for what? Atau dalam bahasa lain, kemanakah arah lokomotif pengetahuan ini akan bermuara? Banyak intelektual mengakui akan dahsyatnya kekuatan akal, sehingga sebuah majalah DJ (Defence Journal) menjadikannya sebuah motto yaitu: mind is the ultimate weapon. Motto ini memberikan illustrasi akan tingginya superioritas akal karena mampu menciptakan unsur deterrent yang digambarkan dalam sebuah kata: weapon. Terma ini secara implisit menggambarkan dua posisi akal, positif dan negatif sekaligus, tergantung siapa dulu yang memegang weapon tersebut. Oleh karenanya, Islam tidak membiarkan akal bergerak liar tapi membungkusnya dalam nilai-nilai akhlakul karimah dan kemanusian. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kecerdasan akal bukanlah bentuk final dari penciptaan akal, tapi ilmu pengatahuan adalah alat instrumen untuk mencapai titik kebenaran dan kesempurnaan manusia. Dan kesempurnaan manusia terletak pada kontribusi positifnya terhadap masyarakat publik
[12], dan kontribusi positif ini tidak timbul kecuali dari bentuk kesadaran akan nilai-nilai positif dari akhlakul karimah.

Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, meringkas misi kerasulanya dalam sebuah statemen singkat: sesungguhnya aku diutus di dunia ini hanya untuk membentuk moral yang mulia[13]. Hadis ini menggambarkan betapa signifikanya etika dan moralitas terhadap komunitas masyarakat. Karena etika dan moralitas membawa masyarakat kepada kejujuran, kedamaian dan saling menghormati dan menolong antar sesama. Kendati misi kerasulan beliau mencakup banyak aspek, terutama misi Tauhid, namun makna Tauhid ini tidak banyak berarti bila tidak bisa terefleksi dalam bingkai akhlakul karimah. Karena inti dari risalah kalimah Tauhid adalah membentuk manusia yang beraklakul karimah. Dan akhlakul karimah inilah kata kunci yang mengarah kepada kecerdasan sosial dan peka terhadap gejala ketimpangan sosial.

Kesimpulan

Dalam Islam, banyak sekali pesan-pesan untuk menggunakan kelebihan kecerdasan akalnya untuk berfikir tentang ayat-ayat tanda kebesaran Allah agar manusia bisa memahami makna kehidupanya di dunia. Namun cukupkah kecerdasan akal manusia hanya untuk mengkomsumsi ayat-ayat kebesaran Tuhannya, tapi kosong aktualisasi di lapangan? Walaupun Allah senantiasa mendorong manusia (baca: muslim) untuk memaksimalkan kelebihan akalnya untuk berfikir,namun berfikir bukanlah akhir dari pesan Allah, ia masih bersambung dengan aksi di lapangan.

Kalau manusia mau mendalami lagi teks-teks agamanya, maka ia akan menemukan satu titik, bahwa muara dari pada berfikir dan kecerdasan akal adalah menjadi manusia terbaik. Lalu bagaimanakah menggapai predikat yang prestisius tersebut?. Rasulullah dalam sebuah hadis yang sangat masyhur memberikan jawaban singkat: manusia terbaik adalah orang yang paling banyak memberikan kontribusi positif kepada manusia. Hadis ini memberikan potret gamblang bahwa puncak dari pada kecerdasan akal adalah bagaimana caranya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya, bukan retorika di atas mimbar. Hadis ini seakan melegitimasi kebenaran firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang menjelaskan komitmen orang beriman bukanlah bentuk fisik dari ibadah tapi ketersambungan antara nilai keimanan dengan problem sosial yang terbingkai dalam nilai pengorbanan dan nilai kesabaran. Ketika nilai-nilai pengorbanan dan kesabaran ini tercerabut dari akar keimanan, maka yang muncul adalah hanyalah simbol-simbol agama yang tergambar dalam upacara-upacara ritual belaka tapi sunyi dari nilai-nilai sosial. Dari sinilah sebenarnya sumber pembusukan sebuah masyarakat di mulai. Ketika nilai-nilai moralitas, pengorbanan dan kesabaran yang menjadi simbol kecerdasan sosial mulai terdegradasi dari panggung masyarakat, maka yang muncul adalah sifat egoisme, individualistis dan arogan yang mana atribut negatif ini sangat bertentangan nilai-nilai kecerdasan sosial yang dicita-citakan oleh Islam. Wallahu A’alam.
(* Penulis tercatat sebagai mahasiswa S-2 Fakultas Sosial Science Dept.Education)

[1] . Lihat, Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 30
[2] . Lihat, Mazher Ul Haque, Political Science (theory and practice) bookland (Pvt) Limited, 16 Urdu Bazar, Lahore,hal, 138
[3] . Ibid, hal,1
[4] . Ibid,hal 143
[5] . Lihat, Abdul Halim Mahally, Menjarah Negeri Muslim, Fima Rodheta, Taman Villa Baru Blok A 26 Bekasi,hal,145.
[6] . Lihat, Mrs.Tanvir Khalid, Education (Introduction to Educational Philosophy And History), National Book Foundation, Islamabad,hal,6
[7] . Lihat, Encarta Encyclopedia 2006 (education)
[8] . Lihat, B.D. Damral, B.N. Dash, Philosopical and Sociological Foundation of Education, Kalyani Publisher B-I/1292, Rajinder Nagar, Ludhiana-141 008, hal,193
[9] . Lihat, Tempo, 23 Januari 2005.
[10] . Lihat, Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan,Kekuasaan, dan Pembebasan), Penerbit ReaD (Research, Education and Dialogue) dan Pustaka Pelajar, Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta, hal,23
[11] . Ibid, 212
[12] . Lihat, At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Ausat, Juz, 13, hal, 27
[13] . Lihat, Imam Malik, Al-Muwatta’ hal,386.

Akar Sekularisme dalam Beragama

M.Afifuddin Muchit
Mahasiswa S-2 Fakultas Sosial Science IIU Islamabad, Alumnus Pesantren Lirboyo, Kediri.

Menelisik relasi Islam dan kekuasan memang selalu menarik. Ketika Islam resmi mendeklarasikan diri sebagai agama yang paripurna yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia, sebuah pertanyaan muncul bagaimana bentuk konkret dogma Islam tentang hierarki hubungan manusia dengan manusia? Banyak kalangan berdebat sengit tentang letak prinsipil peran Islam dalam publik. Apakah dogma Islam publik itu hanya bermain dalam lingkaran nilai dan kultural, tanpa perlu adanya kekuasaan dalam menerapkan aturan-aturan publik?

Kalau kekuasaan memang diperlukan, berarti Islam dituntut untuk merebut kekuasaan dan menerapkan aturan-aturan Islam dalam kehidupan publik agar syiar dan nilai Islam tampak transparan di ruang publik. Tapi kalau Islam publik tidak perlu kekuasaan, berarti Islam harus cukup puas terkotak dalam lingkar nilai dan tidak punya penetrasi riil terhadap kehidupan publik.
Inilah polemik perdebatan panjang yang membelah umat Islam menjadi dua kubu. Kalau mengacu pada teks-teks Islam, hubungan Islam dan politik kekuasaan secara implisit mengarah pada sebuah keniscayaan. Keberadaan negara sangat dibutuhkan untuk menjalankan aturan-aturan dalam Islam seperti halnya konsep Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sultaniyyah tentang agama dan negara. Karena bagaimana mungkin aturan Islam tentang kehidupan publik dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya kekuasaan. Karenanya, banyak tokoh agama yang membuat rujukan negara Madinah sebagai contoh konkret tentang eratnya hubungan Islam dan kekuasaan. Namun tidak sedikit kalangan yang menolak ide negara Islam, karena Islam terbukti tidak membawa konsep baku tentang negara. Karena hampir tidak ada teks eksplisit agama yang menyebutkan bahwa kota Madinah itu adalah sebuah negara Islam.

Ketika Islam dipercaya punya hubungan erat dengan kekuasaan, maka pertanyaan baru akan muncul. Tafsir mana yang representatif untuk mewakili Islam? Tafsir penguasa atau tafsir ulama? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dipecahkan. Ketika ditanya tentang agama, maka mayoritas umat Islam tidak ragu-ragu mengakui ulama lah yang punya tafsirnya. Tapi anehnya ketika ulama mencoba bergerak membuat tafsir Islam publik, maka senapan dan moncong meriam penguasa akan mengarah ke muka ulama, dengan dalih ini bukan wilayah ulama. Wilayah ulama hanya ada di masjid dan madrasah (pesantren), serta tidak perlu ikut campur urusan publik. Inilah potret perdebatan sengit dan bergejolak di Pakistan tentang tafsir Islam publik, yang akhirnya berujung kepada tragedi berdarah di Masjid Merah Islamabad (11/07/07) yang memakan korban sedikitnya 124 orang. Tokoh agama dan pengikutnya melawan pemerintah. Tokoh agama menuduh pemerintah tidak mumpuni dalam memahami dan menerapkan tafsir Islam publik secara benar, yang akhirnya memaksa tokoh agama turun tangan untuk menerapkan tafsir Islam publik secara 'benar'.

Tragedi Masjid Merah yang berlangsung delapan hari di jantung kota Islamabad memunculkan beragam tanggapan dan opini tentang posisi peranan agama dalam kehidupan publik. Banyak opini yang memandang sebaiknya agama 'kembali ke barak' dan mengajari pengikutnya untuk beragama yang toleran dan bisa menghargai orang serta tidak perlu turut campur dalam urusan publik.

Sebuah ambiguSekilas opini ini mengundang hal positif dan bisa diterima logika, karena akan tercipta atmosfir yang 'damai' dan bersahabat dengan lingkungan. Opini ini secara implisit juga mengesahkan tafsir agama penguasa sebagai tafsir Islam publik yang sah. Namun di sisi lain, opini ini secara terselubung mengajarkan 'kepasifan' dalam beragama dan mengkerdilkan peran Islam di ruang publik. Opini ini secara tidak sadar telah mengamini konsep sekularisasi Barat yang mengharamkan campur tangan agama dalam urusan publik.

Inilah ambiguitas umat Islam dalam beragama. Di satu sisi, saat wacana konsep sekularisme dikumandangkan oleh Barat, mereka ramai-ramai menabuh genderang perang. Namun dalam realitas di lapangan, mereka justru ramai-ramai memakai baju sekularisme tanpa sadar dalam bentuk pengurungan Islam dalam masjid dan madrasah. Bahkan, wilayah Islam yang ada dalam masjid dan madrasah pun masih tetap dikontrol penguasa agar norma-norma publik dalam Islam bisa ramah lingkungan.

Tafsir Islam publik yang dipegang tokoh agama di Pakistan memang terkesan 'liar' dan 'galak'. Mereka nyaris tidak bisa kompromi dengan kebudayaan asing yang bertabrakan dengan syariat Islam, seperti musik, film-film Barat, dan India, pergaulan bebas, bersalaman dengan lain jenis, prostitusi terselubung, dan sebagainya. Tafsir Islam publik ala tokoh agama semakin memuncak ketika pemerintah Musharaf terlihat mesra dengan Barat khususnya Amerika.

Kerasnya tafsir Islam publik ala tokoh agama ini bukannya tanpa alasan. Banyak teks Islam secara tersirat mendorong mereka untuk melakukan perang terhadap kemungkaran, ketidakadilan, dan larangan bermesraan dengan non-Muslim yang nyata-nyata telah menumpahkan darah umat Islam seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, dan Kashmir.

Keberanian tokoh Islam di Pakistan mengangkat senjata melawan penguasa merupakan contoh kecil dari ideologi superioritas Islam atas yang lain. Ideologi ini mengantarkan kepada sebuah potret absurdnya norma Islam publik dalam menjaga relasi keharmonisan manusia dengan manusia. Tragedi berdarah antara pemerintah dan tokoh agama di Masjid Merah Islamabad juga memunculkan wacana perang tafsir Islam publik dan berakhir dengan kemenangan gemilang oleh pemerintah Musharraf. Kemenangan ini semakin mengukuhkan konsep sekularisme Barat yang melarang campur tangan agama di ruang publik.

Tragedi berdarah di Masjid Merah Islamabad juga menyadarkan umat Islam di belahan bumi lainnya berpikir ulang untuk begaimana merumuskan kembali konsep tafsir Islam publik yang harmonis tanpa perlu adanya pemasungan terhadap Islam. Namun begitu, tokoh-tokoh Islam juga tidak boleh semena-mena dan arogan melawan pemerintah atas nama pemilik tafsir Islam publik yang sah.

Tafsir Islam Publik penguasa vs Ulama

Oleh: M.Afifuddin Muchit
Islam dikenal luas oleh penganutnya sebagai agama yang sempurna dan paripurna yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia, baik yang vertikal maupun horisontal. Dogma ini mengantarkan kepada sebuah kata final yang termaktub dalam teks-teks agama (baca: alqur'an and as sunnah). Namun begitu, konsep Islam tentang relasi hubungan antar manusia masih dalam perdebatan sengit dan belum ditemukan kata sepakat dikalangan umat Islam tentang perlu tidaknya negara dilibatkan dalam menerapkan norma-norma Islam tentang kehidupan publik. Manafsirkan dogma Islam publik memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena ini selalu berbenturan dengan politik kekuasaan.

Ketika berbicara Islam, maka sosok yang representatif untuk menjadi juru tafsirnya adalah ulama. Karena dialah orang yang mengusai literatur dogma-dogma Islam. Namun masalahnya tidaklah semudah yang dibayangkan. Para ulama seringkali merujuk kehidupan publik pada teks agama. Kehidupan publik selalu saja "diringkus" dalam teks-teks agama untuk dicarikan pembenaran dan pemvonisan. Padahal ruang publik itu adalah kehidupan dinamis dan selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial sebuah masyarakat.

Tafsir Islam publik ala ulama ini sering kali berbenturan dengan fenomena sosial lebih-lebih dengan hukum positif di sebuah negara yang berlabelkan Islam. Disinilah kita perlu menarik garis tegas tentang posisi ulama sebagai penafsir Islam publik dan penguasa sebagai pemilik resmi urusan publik. Keduanya perlu disinergikan agar kehidupan publik bisa berjalan diatas rel perdamaian dan kesejahteraan.

Penguasa dan ulama adalah kubu yang selalu berebut ladang kehidupan publik. Dua kubu tersebut punya karakteristik yang berbeda dalam menjalankan aksi tafsir kehidupan publik. Penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya terkesan selalu mengedepankan naluri konteks dan rasio sementara ulama selalu menunggu isyarat teks dalam menghakimi dan mengatur kehidupan publik. Dua cara pandang yang berbeda inilah yang sering mengantarkan kepada benturan intepretasi tafsir publik dan tidak jarang mengarah kepada benturan fisik, seperti halnya kasus Lal masjid (11/7/07) di Islamabad.

Dalam tragedi berdarah tersebut memberikan gambaran masih absurdnya konsep Islam publik dalam mengatur keharmonisan relasi manusia dengan manusia. Dalam benturan fisik tersebut juga menyadarkan umat Islam di belahan dunia lainnya untuk bagaimana membuat konsep Islam publik yang harmonis dan sinergis dan tidak perlu adanya perang tafsir publik yang mengarah kepada pertumpahan darah.

Tafsir publik yang dipegang penguasa adalah tafsir yang kompleks dan tidak bisa hanya berpegang pada dua warna, hitam dan putih saja. Karena tafsir publik penguasa selalu berinteraksi dengan dunia luar yang menuntutnya harus bisa bersikap fleksibel dan tidak boleh kaku. Tafsir elastis ala penguasa inilah yang membuat kalangan tokoh agama kurang suka karena kerap sekali bertabrakan dengan tafsir publik milik mereka yang berisi dua warna itu. Oleh karena itu mereka selalu terdorong untuk 'membakar' tafsir publik penguasa yang tidak seirama dengan nilai-nilai tafsir agama mereka.

Dalam surat An Nisa ayat 59[1], penguasa sebenarnya punya legitimasi kuat untuk merebut tafsir Islam publik. Namun sayangnya dalam ayat yang sama yakni saat terjadinya kemelut yang memuncak legitimasi tersebut seakan sirna dan dicabut oleh Empunya dan berpindah tangan kepada rasulNya. Dari ayat ini pula, secara implisit memberikan celah bagi ulama bermain alibi untuk merebut tafsir publik. Karena disana tidak ada institusi yang layak menggantikan peran Rasulullah kecuali tokoh agama.
Namun begitu perang tafsir Islam publik ini tidak perlu diperpanjang dan harus segera diakhiri, selain karena kurang bermanfaat, perang tafsir ini juga tidak sejalan dengan cita-cita Allah yang ingin melihat umat manusia bergandengan tangan saling membantu dalam membangun peradaban manusia lewat dialog, cinta damai dan tidak saling memojokkan.

Dalam tafsir Islam publik ini, Islam sebenarnya punya konsep amr ma'ruf nahi munkar. Individu dalam Islam punya kewajiban yang sama untuk memasarkan Islam yang santun dan kewajiban mengontrol lingkungan masyarakatnya dan tidak hanya terkonsentrasi dengan urusan pribadinya.

Lewat konsep AMNM (amr ma'ruf nahi munkar ini), Islam resmi punya kekuatan kontrol dalam kehidupan publik. Untuk itu Islam selayaknya tidak dipasung dalam garis hierarki vertikal saja tapi tetap diberikan tempat untuk hadir dalam kehidupan horisontal. Bahkan garis vertikal Islam ini kurang banyak manfaatnya bila tidak mendorong pemeluknya untuk memiliki sense of control kepada lingkungan masyaraknya.

Namun begitu tokoh-tokoh Islam masih belum satu suara dalam menerjemahkan konsep AMNH. Konsep ini masih bias tafsir karena masih umumnya makna AMNH ini dan membuat setiap orang Islam merasa berhak melaksanakan konsep AMNH menurut kemampuanya. Namun begitu konsep AMNH ini ini bisa menyulut sikap arogan dan destruktif bila tidak diterjemahkan secara tegas. Karena AMNH ini memiliki tiga elemen penting yaitu: Kekuatan tangan, kekuatan ucapan verbal dan kekuatan nurani.

Untuk itu konsep ini harus disesuaikan kondisi pelaku AMNH agar relasi hubungan publik bisa berjalan harmonis dan saling memahami. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan konsep salah seorang ulama Islam yang mengatakan: نحن الدعاة لا القضاة. Ungkapan ini sangat pas dalam menjembatani relasi Islam publik dalam konsep AMNH. Dalam ungkapan ini telah ditarik garis tegas bahwa kekuatan tangan hanya milik penguasa, kekuatan ucapan verbal milik ulama dan kekuatan nurani milik rakyat umum.

[1] . يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء59)

Polemik UU Anti Zina di Pakistan

Oleh: M.Afifuddin A.Muchit
Slogan Islam yang sesuai dengan segala zaman, saat ini diuji integritasnya di negera Pakistan dalam menjawab persoalan diskriminasi kekerasan kepada kaum wanita. Sudah 27 tahun lamanya wanita di Pakistan dihantui bayang-bayang penerapan hukum hadd zina yang sangat diskriminatif. Karena keberadaan mereka selalu menjadi bulan-bulanan hukum peninggalan rezim Ziaul Haq tersebut. Mereka tidak berkutik saat terjadi kekerasan pemerkosaan terhadap diri mereka. Banyak dari mereka dipaksa membisu dari pada melapor ke pihak berwajib, tapi malah dijebloskan dalam penjara, dengan dalih kodhaf(menuduh orang berbuat zina tanpa ada saksi yang menguatkan) karena tidak bisa memberikan bukti kuat ketika melaporkan terjadinya pemerkosaan kepada diri mereka.
Kalau mengacu kepada konsep zina dalam Islam, orang bisa dikenakan pasal berzina apabila ada saksi empat orang dewasa yang melihat adegan tersebut. Namun apabila gagal menghadirkan empat saksi, maka sang pelapor bisa dikenakan pasal balik dengan nama kodhaf.
Definisi zina dalam Islam biasa diartikan sebuah adegan seksual di luar jalur nikah resmi yang dilakukan oleh dua orang lain jenis atas dasar suka sama suka. Namun sayangnnya hingga saat ini belum ditemukan teks resmi agama yang secara eksplisit menerangkan adegan seksual yang dilakukan atas dasar paksaan atau yang biasa dikenal dengan istilah pemerkosaan. Sehingga para perumus kebijakan di Pakistan akhirnya memasukkannya dalam satu bab dengan zina. Dan inilah problem yang sekarang menjadi perdebatan sengit di tingkat elit parlemen Pakistan.
Dengan belum ditemukanya teks tersebut, membuat posisi kaum wanita Pakistan menjadi sangat lemah di depan hukum. Sehingga tidak jarang kaum wanita harus menjadi korban dua kali sekaligus. Pertama, menjadi korban pemerkosaan, dan yang kedua dijebloskan ke dalam penjara, karena menuduh orang berzina tanpa bukti.
Dalam pandangan kaca mata orang umum, fenomena hukum hadd zina ala Pakistan ini memang menggelikan. Bagaimana tidak, seorang wanita yang melaporkan dirinya diperkosa oleh Mr.x justru malah kena pasal balik dengan tuduhan qodhaf, karena tidak mampu memberikan bukti empat orang saksi ketika dia diperkosa.
Pakistan yang terlahir dari rahim konsep two nation theory ini, sedang dilanda dilema besar berkaitan pelaksanaan hadd zina peninggalan Jenderal Ziaul Haq. Hukum Islam yang pernah dibuat politisasi rezim Ziaul Haq untuk menggalang dukungan rakyat Pakistan dalam era jihad di Afghanistan ini telah membawa ekses negatif kepada kaum hawa di Pakistan dalam hal penerapan hukum hadd zina. Karena tidak sedikit mereka menjadi korban dalam penerapan hukum tersebut, karena ketidakmampuan mereka menghadirkan bukti kuat ke pihak kepolisian saat melaporkan tragedi pemerkosaan, bahkan rawan dikenai pasal kodhaf, yang juga tidak jarang mengantarkan kaum hawa ke penjara kendati mereka adalah korban pemerkosaan itu sendiri.
Dalam penerapan hukum hadd zina ini, Pakistan tampaknya masih terkesan ambigu. Dalam satu sisi mereka masih mengagungkan teks yang menuntut empat orang laki-laki sebagai saksi dalam soal zina atau laporan pemerkosaan. Tapi dalam praktik penerapan sanksi di lapangan mereka tidak menggunakan hukum Islam seperti ranjam dalam zina atau cambuk 80 kali dalam kasus qodhaf sebagaimana termaktub dalam bunyi teks tersebut. Tetapi menggunakan media hukuman penjara sebagai penggantinya.
Ini memang anomali hukum hadd Zina yang telah membelah anggota parlemen Pakistan menjadi dua kubu antara pro dan kontra amandemen. Kubu pertama dikomando oleh partai penguasa yang pro pemerintah, yang berkeinginan kuat untuk mengamandemen hadd zina demi melindungi hak-hak prinsip kaum hawa. Kedua, kubu oposisi yang anti amandemen dan ingin tetap mempertahankan hukum lama kendati diakui hukum tersebut telah banyak merugikan pihak perempuan..
Mencuatnya tuntutan amandemen UU hadd zina di Pakistan dipicu oleh banyaknya korban penerapan UU tersebut, utamanya terhadap wanita yang terkena pasal qodhaf. Karena tidak kurang dari 7000 wanita di seluruh Pakistan telah dijebloskan dalam penjara. 80 persen diantaranya terjerat dalam satu kasus menuduh zina tanpa bukti kuat. Tuntutan tersebut memaksa elit di parlemen untuk membahas rancangan perubahan UU hadd zina tersebut. Namun begitu, tidak serta merta tuntutan tersebut bisa digolkan. Karena pihak yang menolak amandemen juga tidak kecil kekuatanya. Utamanya partai MMA yang menolak perubahan UU hadd zina, sehingga pembahasan draft perubahan hadd zina ini berjalan alot dan menegangkan, karena beberapa kali mengalami penundaan dan deadlock.
Pihak oposisi yang didominasi partai agama di bawah bendera partai MMA menolak keras draft perubahan tersebut dengan alasan tidak ada seorang pun punya otoritas untuk merubah hukum yang bersumber dari teks kitab suci. Partai nasionalis yang mendukung pemerintah juga tidak kalah keras berteriak bahwa konsep hadd zina peninggalan rezim Ziaul Haq ini sangat bertolak belakang dengan spirit Islam yang sangat melindungi hak dan kehormatan seseorang. Karena konsep hadd zina ini sudah sangat jelas menyudutkan posisi perempuan yang dipaksa harus menghadirkan empat orang laki-laki dewasa sebagai saksi atas peristiwa pemerkosaan yang menimpa kaum wanita, dan ini adalah sebuah persyaratan yang bisa dikatakan mustahil.
Untuk itu, tidak kurang dari 27 ormas di Pakistan mendukung draft perubahan hadd zina yang saat ini masih menjadi perdebatan sengit di gedung parlemen antara pro & kontra amandemen. Mereka menilai undang-undang tersebut sangat diskriminatif dengan hak-hak wanita. Mereka melakukan unjuk rasa turun ke jalan dari China Chowk sampai ke gedung parlemen, menuntut amandemen undang-undang hadd zina untuk dilakukan segera.
Selama kurang lebih 27 tahun lamanya undang-undang kontraversial ini telah menjadi hukum positif di Pakistan sejak era rezim Ziaul Haq tahun 1979. Isu amandemen UU hadd zina ini muncul dan menghangat seiring propaganda yang dilakukan presiden Musharraf untuk menjual konsep enligtened moderation di tengah publik Pakistan.
Dalam memasarkan slogannya tersebut, Musharaf masih menghadapi kendala pelik. Karena mayoritas rakyat Pakistan masih "dibelenggu" persepsi kuat tentang kesucian teks agama hingga membuat mereka ketakutan untuk keluar dari mainsterm teks kepada konteks. Kendati teks tersebut telah terbukti telah berbenturan dengan realita di lapangan dan banyak menimbulkan korban.
Persolan mendasar dari anomali hukum hadd zina ini adalah Pertama, ketidakmampuan kaum hawa yang menjadi korban pemerkosaan untuk menuntut pelaku pemerkosa ke meja hijau, karena dituntut menghadirkan empat saksi laki-laki atau saksi perempuan dengan dua banding satu. Kedua, hukum di Pakistan tidak mengenal hasil tes DNA sebagai pengganti saksi atau bukti. Ketiga, polisi diberikan otoritas penuh untuk menahan penuduh zina (korban pemerkosaan) dengan tanpa diberikan kesempatan untuk menyatakan keberatan atau meminta jaminan keamanan. Keempat, prinsip qodhaf sangat menyudutkan wanita untuk melaporkan kejadian pemerkosaan yang menimpa dirinya, karena bisa dikenai pasal balik menuduh tanpa bukti apabila ia tidak bisa membuktikan tuduhan pemerkosaan.
Amandemen UU zina di Pakistan adalah sebuah keharusan untuk mewujudkan cita rasa keadilan yang lebih humanis dan islami. Karena Islam tentunya tidak rela bila produk hukumnya dibuat dalih untuk menindas kaum lemah. Disamping itu, UU hadd zina ini nuansa politiknya lebih kental dari pada dorongan kesadaran untuk menegakkan hukum Islam itu sendiri. Karena UU tersebut lahir dari politik islamisasi yang dilancarkan oleh rezim Ziaul Haq untuk menarik dukungan kalangan agamawan untuk mendukung politiknya ketika menggulingkan mendiang Ali Bhutto, yang juga ayah mantan perdana menteri Pakistan Benazir Bhutto.
Berangkat dari anomali penerapan hadd zina di Pakistan ini dapat dipetik pelajaran bahwa penerapan syariat Islam secara membabi buta tanpa melihat konteks realitas sosial masyarakat dapat menjadi bumerang dan konflik. Untuk itu slogan Islam adalah solusi tampaknya perlu dikoreksi ulang. Karena ternyata instrumen hukum penerapan hadd zina ini telah menjadi antitesis terhadap slogan tersebut..
Ini merupakan pelajaran berharga buat umat Islam di Indonesia, yang saat ini sedang dibuai euforia penerapan syariat di beberapa daerah, agar tidak gegabah dalam menerapkan syariat Islam secara membabi buta. Karena akibatnya akan fatal. Ini bukan berarti penulis anti syariat Islam, tapi lebih melihat kepada maslahat yang lebih luas. Yakni dengan tidak memaksakan diri untuk menerapkan bunyi teks agama di lapangan tapi juga bisa arif melihat konteks. Jadi, teks dan konteks perlu disinergikan dalam bingkai kemaslahatan umat. Karena Islam adalah agama penebar rahmat untuk sekalian alam, bukan agama diskriminatif. Waallahu a'lam bissowab.














Monday, September 10, 2007

Menjaring Harapan di Lautan Krisis

Oleh: M.Afifuddin Muchit*)

62 tahun silam, penjajah Belanda dan Jepang telah angkat kaki dari bumi nusantara, namun sisa-sisa sepatu kolonialismenya masih tertinggal dan tetap tertanam dalam benak sanubari anak negeri Indonesia. Bangsa Indonesia masih saja dirundung nestapa yang tak kunjung berakhir.

Bangsa Indonesia saat ini merayakan kemerdekaannya yang ke 62. Mereka boleh saja bersuka cita dengan pesta kemerdekaan bangsa yang direbut dengan linangan darah dan air mata para pahlawan negeri. Namun jangan lupa bahwa kemerdekaan ini tidak lebih dari sekedar potret simbolis belaka. Karena kolonialisme sebenarnya belum benar-benar angkat kaki dari bumi nusantara. Fenomena ini bisa dilihat dengan masih terpuruknya Indonesia di negeri sendiri dan dunia international.

Indonesia secara lahiriyah memang telah terbebas dari cengkraman kuku kolonialisme namun mental dan perilakunya masih tetap terjajah. Mental mereka belum merdeka seutuhnya. Dan ini adalah penjajahan yang paling menakutkan. Buruknya mental bangsa ini bisa dilihat dari mental rendah diri yang berlebihan sehingga lebih suka menggantungkan harapan kepada orang lain tanpa pernah terbetik bahwa mereka mampu dan bisa berdikari.

Bangsa Indonesia boleh saja mengklaim diri sebagai bangsa yang punya etos kerja yang tinggi namun apa manfaatnya punya etos kerja tinggi bila tidak dibarengi mental yang kuat bahwa saya mampu dan bisa. Filosofi "SAYA BISA" bukanlah hanya sekedar jargon belaka tapi adalah kemauan tinggi untuk tidak menjadi manusia yang suka menyerah dan bergantung kepada orang lain. Bangsa Indonesia harus berani menegakkan kepala dan menatap sorot mata dunia dengan kepalan tekad dan semangat membaja.

Dunia memang tidak akan sepi dari perang hegemoni. Negara-negara maju akan terus selalu berlomba-lomba menancapkan hegemoninya atas negara-negara lemah. Pertarungan hegemoni atas dunia ini semakin memuncak pasca perang dingin dan tragedi 11 September. Dan di awal pembukaan milenium baru abad 21 inilah hegemoni dunia resmi merapat ke sebuah negara bernama Amerika. Ia berhak menyandang gelar sebagai kaisar baru di dunia dan berhak memegang tongkat bendera hegemoni dunia. Indonesia sebagai salah satu negara dunia ketiga tentunya juga tidak akan luput dari incaran sabetan pedang hegemoni Paman Sam tersebut.

Indonesia yang saat ini masih berkutat dengan problem krisis multiidimensi ini sering kali dihadapkan pada sebuah situasi sulit antara kepentingan nasional dan tekanan hegemoni negara asing. Inilah sebuah era baru, dimana aksi kolonialisme tidak perlu lagi membawa baju seragam tentara dan menduduki sebuah wilayah tertentu tapi cukup dengan kekuatan intervensi dan ekonomi. Dan ini sebuah era yang menandai lahirnya neo kolonialisme.

Penjajahan bergaya neo kolonilisme inilah yang sekarang ini dihadapi dan mengancam negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Perang dengan baju neo koloniasme ini sering kali membuat para elit penguasa dalam negeri tidak kuasa menghadapi tekanan-tekanan negara asing yang akhirnya takluk dan menerima kemauan mereka. Dan hasilnya pun bisa ditebak, lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban.

Namun begitu rakyat Indonesia tidak boleh menyerah dan putus asa dengan fenomena ini. Mereka harus tetap bergerak dan melawan neo kolonialisme ini dengan semangat 45 yang diwariskan oleh pahlawan bangsa. Karena bangsa yang maju dan besar bukanlah bangsa yang tidak pernah menghadapi masalah pelik, tapi bangsa yang mampu mengatasi sederet masalahnya dengan semangat berani menerima tantangan dan cobaan.

Kekurangan mendasar bangsa Indonesia sebenarnya bukan pada kurangnya SDM atau SDA tapi mentalitas bangsa yang suka pragmatis dan serba instant. Penyakit ini menyebabkan bangsa Indonesia sulit keluar dari krisis multi dimensi. Dan inilah krisis pertama yang harus dibenahi dan diperhatikan dengan serius agar bangsa Indonesia tidak selalu menjadi bangsa kelas bawah yang hanya mampu menjalankan titah negara-negara maju tapi bangsa yang mampu menegakkan kepala menatap kilauannya negara maju.

Membangun negeri yang sudah porak-poranda oleh badai krisis multi-dimensi ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan tapi membutuhkan ekstra semangat tinggi dan pantang menyerah dengan keadaan. Dan ini bukanlah proyek utopia tapi proyek possible. Kita bisa mengaca dan belajar dari Jepang. Dengan sebuah negeri yang sudah terkoyak oleh hujan bom atom di Nagasaki dan Hirosima dalam Perang Dunia II, tapi tidak mengendurkan semangat mereka untuk bangkit dan menguasai Asia Raya bahkan dunia. Dan cita-cita Jepang tidaklah sia-sia, karena kini telah muncul sebagai macan Asia yang tidak boleh dianggap remeh dalam beberapa dekade ini. Ini semua berkat para elit Jepang yang terus mengobarkan semangat kebersamaan dan mempelajari secara serius hukum dan diplomasi ekonomi pasar.

Dengan semangat merayakan kemerdekaan RI ke-62 ini mari kita kobarkan kembali nilai-nilai dan semangat patriotisme para pahlawan bangsa. Para pemimpin elit nasional harus serius menjadi pioner dalam menggelorakan kembali api semangat 45, semangat berjuang tanpa pamrih, semangat maju pantang mundur, semangat merdeka atau mati dan semangat gotong-royong, jika ingin melihat Indonesia kembali tersenyum lebar menyambut Indonesia baru yang penuh arif dan bijaksana melihat kemakmuran kembali lahir di negeri tercinta.

Presiden SBY sebagai icon resmi bangsa Indonesia, kendati saat ini belum mampu seutuhnya mewujudkan impian para pejuang pendahulu bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan merdeka dari tekanan negara asing, seperti halnya cita-cita luhur bangsa yang terukir dalam prembule pembukaan UUD 1945, namun tidak harus patah arang tapi tetap menjaga dan mengobarkan kembali api semangat slogannya: BERSAMA KITA BISA.

Neo kolonialisme yang saat ini masih mengancam bangsa Indonesia jangan dimaknai sebagai beban dan problem tapi sebagai tantangan untuk membangun kekuatan nasional yang tangguh dan membangkitkan kecerdasan kolektif bangsa untuk bersama melawan kekuatan asing yang merongrong kewibawaan bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Sudah lama Ibu Pertiwi ini rindu ingin melihat anak negerinya bergandengan tangan membangun negeri dan melupakan atribut perbedaan telah yang memporak-porandakan tali persatuan bangsa. Sudah tidak saatnya lagi menyulut api agama, ras, golongan dan etnis yang terbukti telah menjauhkan manusia dari cita-cita luhur bersama: membangun perdaban manusia dalam cinta kasih yang beradab.

Indonesia tidak harus pesimis dengan datangnya hari esok yang lebih baik, asal ia tetap bersabar dan senantiasa merangkai benang masa depan dengan jiwa optimisme. Roda dunia masih tetap menggelinding bersama waktu dan zaman dan pada saatnya nanti, baik lambat atau cepat pasti akan menghampiri negeri nusantara, walaupun mungkin jalannya agak terseok-seok namun kita harus yakin akan datangnya masa emas tersebut. Semoga.Amin.

Waallahu A’lam

*) Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Social Science Jurusan Pendidikan.

Amerika Menyerang Pakistan?

Oleh: M.Afifuddin Muchit*)

Amerika boleh saja menepuk dada karena sukses menumbangkan dua negara Afghanistan dan Irak dalam agenda membasmi terorisme di dunia., namun publik Amerika tidak serta memberikan bintang kehormatan kepada Bush sebagai pahlawan penumpas terorisme. Justru malah sebaliknya, pamor Bush malah semakin anjlok, karena agenda perang terorisme yang diciptakan Bush dinilai salah sasaran dan tidak sesuai dengan ekpetasi publik Amerika.

Publik Amerika justru menuntut manarik mundur semua Pasukan Amerika dari Afghan maupun Iraq. Jatuhnya pamor Bush Jr. bisa dilihat dengan jelas dalam poling majalah Newsweek Januari lalu, pamor George W.Bush jatuh hingga 31 persen. 70 persen publik Amerika tidak menyetujui kebijakanya dalam perang dengan Irak, separo lebih publik Amerika lebih mempercayai partai Demokrat dalam menanangani perang dan 2/3 persen tidak menyetujui pengiriman tambahan tentara perang ke Irak.

Kendati pamor Bush anjlok di mata publik sendiri, namun tidak menghentikan ambisinya untuk terus maju dalam perang melawan terorisme. Dan Iran yang saat ini sedang menjadi incaran Amerika untuk dijadikan korban selanjutnya, tidak menghalanginya untuk tetap mengarahkan radar perangnya ke sumber munculnya terorisme yang ada di Afghan dan Pakistan.

Pakistan yang pernah dianugrahi gelar sebagai kunci sekutu Amerika dalam merontokkan rezim Taliban dari singgasana kekuasaan pada 13 November 2001, tampaknya harus mulai waspada dengan manuver Amerika. Karena Gedung Putih saat ini mulai tidak puas dengan hasil kerja Islamabad dalam agenda menumpas kelompok pro Taliban dan jaringan al-Qaedah yang ada di wilayahnya. Pakistan berkali-kali diminta untuk "do more" dalam menggasak kawanan teroris dengan menggelar perang terbuka dan tidak ragu-ragu dalam menggunakan kekuatan militernya.

Kebijakan Gedung Putih Washington menekan Pakistan untuk "do more" dalam perang melawan terorisme ini didukung oleh Barrac Obama. Kandidat presiden dari partai Demokrat ini bahkan tidak ragu-ragu untuk memerintahkan pasukan AS untuk memborbardir langsung ke basis terorisme di wilayah Tribal Area Pakistan jika ia terpilih menjadi presiden nanti.

Ketidak-puasan Amerika ini memang beralasan, karena pemerintah Musharraf terlihat tidak mampu berbuat banyak dalam menggulung pejuang militan pro Taliban dan al-Qaedah yang ada di Tribal Areas. (Sebuah wilayah kesukuan yang berbatasan dengan Afghanistan dan punya otoritas kekusaan penuh). Terbukti militan pro Taliban dapat bergerak bebas dan sering mengancam bahkan membuat frustasi tentara Pakistan yang ditugaskan membasmi para militan tersebut. Bahkan Musharraf pun akhirnya resmi melakukan tanda tangan perundingan damai dengan kepala suku Tribal Area pada September 2006. Perundingan damai terpaksa dilakukan Musharraf setelah melihat kenyataan bahwa tidak kurang dari 800 tentaranya meregang nyawa tanpa membawa hasil yang berarti, justru ratusan penduduk sipil yang tak berdosa jatuh menjadi korban.

Alotnya menggulung jaringan terorisme yang ada di Tribal Area bukanlah isapan jempol belaka, karena tentara Inggris di bawah komando Sir Mortiner Durand pun pernah merasakan ganasnya manusia Tribal Area saat ia mencoba melebarkan sayap ekpansi wilayah jajahan ke daerah tersebut pada tahun 1893. Pasukan Inggris akhirnya dipukul mundur dari daerah tersebut dan dipaksa mengakui kekuatan kelompok Tribal Area dan berakhir di meja perundingan damai.

Perundingan damai antara pemerintah dan ketua suku Tribal Area inilah yang mengundang kekhawatiran Gedung Putih akan munculnya dan bersatunya kembali kekuatan Taliban di daerah tersebut. Apalagi dalam pengamatan intelejen Amerika, sisa-sisa kekuatan Taliban telah mendirikan kamp latihan, memasang jaringan komunikasi dan dengan leluasa menyeberang ke garis perbatasan Pakistan-Afghan. Dan ini adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan oleh Washington karena akan mengancam keamanan negeri Paman Sam dan Dunia sekaligus. Oleh karenanya, anggota senior Gedung Putih menyerukan kepada Amerika untuk mengambil langkah militer untuk menyerang langsung ke tempat persembunyian jaringan al-Qaedah yang ada di Pakistan. Seruan ini pun diamini Lee Hamilton, anggota keamanan kepresidenan Bush.

Dalam tulisannya yang dipublikasikan dalam beberapa koran di Amerika, Hamilton mengatakan bahwa Washington tidak bisa membiarkan al-Qaedah tumbuh bersemi kembali di wilayah Tribal Area Pakistan. Ia mengingatkan bahwa bantuan dana militer untuk Pakistan dalam perang melawan aksi terorisme bukanlah cek kosong tapi harus ada aksi konkret di lapangan. Jika Musharraf tidak bisa mengambil aksi nyata, maka Amerika yang akan mengambil alih tugas itu.

Praktis ide untuk menyerang langsung ke wilayah Pakistan tersebut membuat Islamabad pun langsung bersuara lantang dan menolak keras ide tersebut. Ancaman ini tidak hanya membuat gusar Musharraf saja, tapi Senator parlemen Pakistan,Mushahid Shahid juga tidak kalah bicara lantang dan mengancam akan mengakhiri kerjasama dalam perang melawan terorisme. kebakaran jenggot. Presiden Musharraf

Meski disadari bahwa tentara Pakistan belum bisa berbuat banyak dalam menumpas pejuang militan pro Taliban dan al-Qaedah yang bersembunyi di wilayah Tribal Area, tapi usaha Pakistan haruslah dihargai kendati belum maksimal. Intervensi Amerika dalam urusan dalam negeri Pakistan bukanlah solusi, justru akan menambah deretan musuh-musuh baru.

Intervensi ini juga mengundang kecurigaan. Jika Pakistan dalam usahanya membendung terorisme ini dikatakan belum memuaskan AS, lalu bagaimana dengan usaha Amerika sendiri dalam menumpas terorisme di Afghanistan selama enam tahun ini? Kendati sudah banyak mesiu dan bom Amerika dimuntahkan di titik-titik tempat yang diduga menjadi persembunyian pejuang Taliban tapi hasilnya hanya nyawa-nyawa rakyat sipil Afghan yang menjadi korban, sementara Taliban tetap eksis dan terus mengancam. Ini bisa dilihat dengan disanderanya 21 pekerja Korea Selatan oleh Taliban dan bahkan telah membunuh dua sanderanya, karena pemerintahan Karzai menolak tuntutan Taliban untuk melepas kawan-kawanya yang disandera oleh aparat keamanan Afghan.

Ini belum ditambah daftar mandulnya pasukan AS dalam menggasak kaum teroris di negeri di negeri 1001 malam, Irak. Pasukan AS benar-benar depresi berat dalam menghalau kaum teroris yang mengamuk di tiap tempat dan menimbulkan banyak korban jiwa dari tentara AS disamping juga rakyat sipil Irak yang tak berdosa, sehingga presiden George W.Bush harus perlu menambah kiriman pasukan dari AS untuk memperkuat tentaranya di Irak.

Dari potret mandulnya pasukan AS menumpas kaum teroris di dua negara tersebut tentu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan menarik. Pertama, apakah Paman Sam tidak berkaca dari kegagalanya tersebut? Kedua, haruskah ia memaksakan diri unjuk kekuatan militer di wilayah Tribal Area Pakistan, yang mana kebuasan daerah tersebut pernah dirasakan sendiri oleh pasukan Inggris pada tahun 1893?

Sejarah membuktikan, untuk menggulung kaum militan di daerah Tribal Area Pakistan bukanlah dengan kekuatan militer, tapi dengan pendekatan persuasif dengan tokoh-tokoh Tribal Area. Karena tidak semua orang-orang Tribal Area adalah pro Taliban dan al-Qaeda, Ini bisa dibuktikan dengan aksi mereka menggulung kaum militan Uzbek yang pro Taliban keluar dari daerah tersebut dalam beberapa bulan yang lalu. Ini membuktikan bahwa usaha pemerintah Musharraf dalam perang melawan ektremisme dan terorisme di wilayahnya tidaklah sia-sia.

Namun Amerika dan sekutunya, NATO tampaknya tetap tak bisa menyembunyikan shahwat politiknya untuk tetap menyerang, namun dengan strategi lain. Amerika akan menyerang Pakistan tapi hanya terbatas kepada kantong-kantong kelompok pro Taliban dan al-Qaeda yang ada di Tribal Area dengan serangan siluman. Manuver ini bisa ditebak bahwa Amerika dan sekutunya ingin melakukan operasi militer rahasia dengan mengirimkan rudal dari jarak jauh atau pesawat perang canggih dan memuntahkan bom-bom ganas ke tempat-tempat persembunyian kelompok terorisme.

Walaupun rencana aksi serangan siluman Paman Sam dan sekutunya ini hanya bersifat sektoral dan terbatas di wilayah Tribal Area dan tidak akan membahayakan posisi Pakistan sebagai negara yang berdaulat, namun siapa yang berani menjamin janji Paman Sam dan sekutunya ini? Karena Amerika adalah sebuah negara yang terkenal sangat susah dipegang komitmenya dan kerap beberapa kali melanggar peraturan internasional dan suka memotong dalam lipatan.

Namun jika Paman Sam benar-benar nekad menyerang Pakistan, maka ini adalah sebuah kebodohan besar bagi Amerika dan sekutunya tersebut. Karena ini akan semakin mengobarkan sentimen anti Amerika secara meluas, tidak hanya dalam kubu kaum militan Pakistan tapi kelompok liberal demokrat pemerintahan dan parlemen Pakistan juga bisa bersatu dalam barisan kelompok militan yang telah lama memendam kebencian kepada Amerika. Bahkan sentimen anti Amerika ini bisa menjalar ke negara-negara muslim lainnya yang pada akhirnya akan semakin mendekatkan kepada tesis Samuel Huntinton tentang clash of civilization.

*)Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Sosial Science IIU Islamabad