Monday, September 10, 2007

Menjaring Harapan di Lautan Krisis

Oleh: M.Afifuddin Muchit*)

62 tahun silam, penjajah Belanda dan Jepang telah angkat kaki dari bumi nusantara, namun sisa-sisa sepatu kolonialismenya masih tertinggal dan tetap tertanam dalam benak sanubari anak negeri Indonesia. Bangsa Indonesia masih saja dirundung nestapa yang tak kunjung berakhir.

Bangsa Indonesia saat ini merayakan kemerdekaannya yang ke 62. Mereka boleh saja bersuka cita dengan pesta kemerdekaan bangsa yang direbut dengan linangan darah dan air mata para pahlawan negeri. Namun jangan lupa bahwa kemerdekaan ini tidak lebih dari sekedar potret simbolis belaka. Karena kolonialisme sebenarnya belum benar-benar angkat kaki dari bumi nusantara. Fenomena ini bisa dilihat dengan masih terpuruknya Indonesia di negeri sendiri dan dunia international.

Indonesia secara lahiriyah memang telah terbebas dari cengkraman kuku kolonialisme namun mental dan perilakunya masih tetap terjajah. Mental mereka belum merdeka seutuhnya. Dan ini adalah penjajahan yang paling menakutkan. Buruknya mental bangsa ini bisa dilihat dari mental rendah diri yang berlebihan sehingga lebih suka menggantungkan harapan kepada orang lain tanpa pernah terbetik bahwa mereka mampu dan bisa berdikari.

Bangsa Indonesia boleh saja mengklaim diri sebagai bangsa yang punya etos kerja yang tinggi namun apa manfaatnya punya etos kerja tinggi bila tidak dibarengi mental yang kuat bahwa saya mampu dan bisa. Filosofi "SAYA BISA" bukanlah hanya sekedar jargon belaka tapi adalah kemauan tinggi untuk tidak menjadi manusia yang suka menyerah dan bergantung kepada orang lain. Bangsa Indonesia harus berani menegakkan kepala dan menatap sorot mata dunia dengan kepalan tekad dan semangat membaja.

Dunia memang tidak akan sepi dari perang hegemoni. Negara-negara maju akan terus selalu berlomba-lomba menancapkan hegemoninya atas negara-negara lemah. Pertarungan hegemoni atas dunia ini semakin memuncak pasca perang dingin dan tragedi 11 September. Dan di awal pembukaan milenium baru abad 21 inilah hegemoni dunia resmi merapat ke sebuah negara bernama Amerika. Ia berhak menyandang gelar sebagai kaisar baru di dunia dan berhak memegang tongkat bendera hegemoni dunia. Indonesia sebagai salah satu negara dunia ketiga tentunya juga tidak akan luput dari incaran sabetan pedang hegemoni Paman Sam tersebut.

Indonesia yang saat ini masih berkutat dengan problem krisis multiidimensi ini sering kali dihadapkan pada sebuah situasi sulit antara kepentingan nasional dan tekanan hegemoni negara asing. Inilah sebuah era baru, dimana aksi kolonialisme tidak perlu lagi membawa baju seragam tentara dan menduduki sebuah wilayah tertentu tapi cukup dengan kekuatan intervensi dan ekonomi. Dan ini sebuah era yang menandai lahirnya neo kolonialisme.

Penjajahan bergaya neo kolonilisme inilah yang sekarang ini dihadapi dan mengancam negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Perang dengan baju neo koloniasme ini sering kali membuat para elit penguasa dalam negeri tidak kuasa menghadapi tekanan-tekanan negara asing yang akhirnya takluk dan menerima kemauan mereka. Dan hasilnya pun bisa ditebak, lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban.

Namun begitu rakyat Indonesia tidak boleh menyerah dan putus asa dengan fenomena ini. Mereka harus tetap bergerak dan melawan neo kolonialisme ini dengan semangat 45 yang diwariskan oleh pahlawan bangsa. Karena bangsa yang maju dan besar bukanlah bangsa yang tidak pernah menghadapi masalah pelik, tapi bangsa yang mampu mengatasi sederet masalahnya dengan semangat berani menerima tantangan dan cobaan.

Kekurangan mendasar bangsa Indonesia sebenarnya bukan pada kurangnya SDM atau SDA tapi mentalitas bangsa yang suka pragmatis dan serba instant. Penyakit ini menyebabkan bangsa Indonesia sulit keluar dari krisis multi dimensi. Dan inilah krisis pertama yang harus dibenahi dan diperhatikan dengan serius agar bangsa Indonesia tidak selalu menjadi bangsa kelas bawah yang hanya mampu menjalankan titah negara-negara maju tapi bangsa yang mampu menegakkan kepala menatap kilauannya negara maju.

Membangun negeri yang sudah porak-poranda oleh badai krisis multi-dimensi ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan tapi membutuhkan ekstra semangat tinggi dan pantang menyerah dengan keadaan. Dan ini bukanlah proyek utopia tapi proyek possible. Kita bisa mengaca dan belajar dari Jepang. Dengan sebuah negeri yang sudah terkoyak oleh hujan bom atom di Nagasaki dan Hirosima dalam Perang Dunia II, tapi tidak mengendurkan semangat mereka untuk bangkit dan menguasai Asia Raya bahkan dunia. Dan cita-cita Jepang tidaklah sia-sia, karena kini telah muncul sebagai macan Asia yang tidak boleh dianggap remeh dalam beberapa dekade ini. Ini semua berkat para elit Jepang yang terus mengobarkan semangat kebersamaan dan mempelajari secara serius hukum dan diplomasi ekonomi pasar.

Dengan semangat merayakan kemerdekaan RI ke-62 ini mari kita kobarkan kembali nilai-nilai dan semangat patriotisme para pahlawan bangsa. Para pemimpin elit nasional harus serius menjadi pioner dalam menggelorakan kembali api semangat 45, semangat berjuang tanpa pamrih, semangat maju pantang mundur, semangat merdeka atau mati dan semangat gotong-royong, jika ingin melihat Indonesia kembali tersenyum lebar menyambut Indonesia baru yang penuh arif dan bijaksana melihat kemakmuran kembali lahir di negeri tercinta.

Presiden SBY sebagai icon resmi bangsa Indonesia, kendati saat ini belum mampu seutuhnya mewujudkan impian para pejuang pendahulu bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan merdeka dari tekanan negara asing, seperti halnya cita-cita luhur bangsa yang terukir dalam prembule pembukaan UUD 1945, namun tidak harus patah arang tapi tetap menjaga dan mengobarkan kembali api semangat slogannya: BERSAMA KITA BISA.

Neo kolonialisme yang saat ini masih mengancam bangsa Indonesia jangan dimaknai sebagai beban dan problem tapi sebagai tantangan untuk membangun kekuatan nasional yang tangguh dan membangkitkan kecerdasan kolektif bangsa untuk bersama melawan kekuatan asing yang merongrong kewibawaan bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Sudah lama Ibu Pertiwi ini rindu ingin melihat anak negerinya bergandengan tangan membangun negeri dan melupakan atribut perbedaan telah yang memporak-porandakan tali persatuan bangsa. Sudah tidak saatnya lagi menyulut api agama, ras, golongan dan etnis yang terbukti telah menjauhkan manusia dari cita-cita luhur bersama: membangun perdaban manusia dalam cinta kasih yang beradab.

Indonesia tidak harus pesimis dengan datangnya hari esok yang lebih baik, asal ia tetap bersabar dan senantiasa merangkai benang masa depan dengan jiwa optimisme. Roda dunia masih tetap menggelinding bersama waktu dan zaman dan pada saatnya nanti, baik lambat atau cepat pasti akan menghampiri negeri nusantara, walaupun mungkin jalannya agak terseok-seok namun kita harus yakin akan datangnya masa emas tersebut. Semoga.Amin.

Waallahu A’lam

*) Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Social Science Jurusan Pendidikan.

No comments: