Sunday, September 16, 2007

Ketika Kecerdasan Sosial Tercabut Dari Akarnya

Oleh: M.Afifuddin Muchit*)
Pendahuluan

Sejarah manusia adalah sejarah conflic of interest. Sejak manusia dideklarasikan sebagai khalifah di muka bumi ini, instrumen tuduhan negatif dan kecurigaan sudah melekat pada diri manusia, karena potensinya yang corrup, arogan dan suka menumpahkan darah antar sesamanya
[1]. Tesis ini diperkuat oleh pakar politik legendaris dari Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengatakan: man was essentially selfish, egoistic and self-seeking[2]. Elemen negatif ini disebabkan karena manusia lebih suka dibuai oleh pelukan hangat nafsu dari pada pelukan ‘panas’ akal sehatnya dalam memutuskan sebuah perkara. Padahal akal adalah instrumen yang paling berharga untuk membedakan antara benar dan salah.

Karena kekurangan manusia inilah, malaikat melakukan “unjuk rasa” di depan Allah agar mengoreksi kembali keputusaNya tersebut karena ia sangat membahayakan dunia dan menawarkan diri untuk menempati posisi tersebut, karena merasa memiki kemampuan dan superioritas yang lebih di banding manusia, ditambah track recordnya yang mengagumkan: loyalitas yang tinggi dan senantiasa membesarkan simbol-simbol kebesaran Allah. Namun Allah tetap tidak bergeming dengan keputusaNya kendati dengan segala kekurangan yang dimiliki manusia, karena manusia memiliki satu kelebihan yang tidak dipunyai oleh malaikat dan jin, yaitu ilmu dan kebijaksaan.

Dari lipatan pita rekaman sejarah manusia tersebut, kita punya satu titik pijakan, bahwa dalam diri manusia itu terdapat dua potensi besar antara positif dan negatif sekaligus. Oleh karena itu Allah tidak bosan-bosan memberikan bimbingan kepada manusia agar senantiasa berpegang pada pesan-pesan Allah supaya dapat menjalankan misi kekholifahanya di muka bumi ini secara benar dan bertanggung jawab sesuai ilmu yang dimilikinya

Kholifah adalah sebuah terminologi yang diambil dari bahasa Arab yang bermakna pengganti. Sebuah terma yang menggambarkan posisi manusia yang tinggi sebagai simbol ‘bayangan’ Allah di muka bumi, untuk mengurus dan mengelola permasalahan manusia dan makhluk penghuni bumi lainnya secara adil dan bijaksana, agar kesejahteraan dan kedamaian bisa hadir di muka bumi.

Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa terpisah dari komunitasnya, manusia punya naluri political animal[3] . Sebuah naluri ketergantungan kepada sebuah komunitas sekaligus naluri untuk menguasai. Naluri seperti ini perlu dikontrol dalam norma-norma aturan dalam masyarakat agar arogansi dan ketegangan sosial bisa diminimalisir dan kehidupan bisa berjalan di atas roda saling menghormati dan menghargai. Oleh karenanya, lahirlah konsep kontrak sosial yang mengandaikan supremasi komunitas masyarakat di atas interes individu[4].

Kendati kekurangan dalam diri manusia bersifat inherently, namun manusia juga punya naluri positif: tidak ingin disakiti atau dipasung hak-haknya sebagai manusia. Ini mengilustrasikan adanya bentuk toleransi dan saling menghormati, yang mana ujung dari elemen positif ini adalah anti kekerasan,intimidasi dan lebih mengedepankan cinta dan perdamaian dari pada pertumpahan darah. Potret cinta perdamaian ini bisa dilihat dengan transparan saat Amerika mau mengganyang Iraq. Hampir seluruh warga dunia turun ke jalan untuk mengutuk tindakan unilateral Paman Sam yang biadab itu[5], karena manusia punya kecenderungan naluri anti kekerasan dan suka bersimpati terhadap orang yang dipasung hak kemanusianya tanpa perlu memandang ras,suku,agama manusia.

Oleh karena itu, manusia sebagai insan yang berakal dituntut untuk bisa belajar bekerja sama dengan sesamanya dan belajar memahami watak dan karakter manusia agar kehidupan manusia bisa berjalan damai dan harmoni dan tidak perlu adanya gejolak-gejolak sosial yang justru akan merobohkan bangunan kebersamaan kemanusian.

Relasi Kaum Terpelajar dan Sosial Masyarakat

Dalam era primitif, keberadaan manusia dan lingkuanganya masih sangat simple. Mereka hanya mewariskan ilmu keahlian fisik kepada anak keturunannya untuk bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup
[6] sekaligus keahlian dalam membentengi diri dari ancaman binatang liar atau manusia jahat[7]. Namun seiring perubahan zaman yang terus berjalan, perkembangan manusia juga bergerak dengan cepat dan dunia seakan sudah tanpa batas. Fenomena ini menuntut manusia tidak hanya menguasai keahlian fisik, tapi keahlian olah fikir juga perlu mendapat perhatian serius, karena harga manusia sekarang tergantung bagaimana ia mampu memaksimalkan kecerdasan akalnya.

Manusia yang telah dianugrahi kecerdasan akal oleh Allah punya tanggung jawab menggunakan kecerdasan akalnya untuk menjawab setiap persoalan dan problem sosial yang terjadi di tengah komunitasnya. Oleh karena kecerdasanya itu, manusia diberi gelar agent of change. Ini memberikan indikasi bahwa relasi antara kaum terpelajar dan masyarakat adalah sangat kental. Karena di tangan kaum terpelajarlah, hitam putihnya nasib sebuah masyarakat. Dan dengan kecerdasan akalnya pula, manusia diharapkan dapat bersikap dan berfikir secara kritis, dinamis dan konstruktif untuk membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia.

Aktor agent of change yang biasa diwakili oleh para aktifis sekolah atau kampus masih punya tanggung-jawab lain untuk mengkonsolidasi dan memformulasikan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti nilai kultural, agama, sejarah dll. Mereka juga bertanggung-jawab untuk menjaga nilai positif dalam masyarakat, merancang peta masa depan masyarakat dan selalu peka terhadap perubahan dan gejolak dalam masyarakat[8].

Paradoksal Kaum Intelektual

Umumnya kaum terpelajar dimanapun berada punya posisi terhormat di mata masyarakat. Posisi ini dilegitimasi oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi: Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman darimu dan orang-orang yang dikaruniai ilmu dengan beberapa tingkat. Namun demikian, sosok kaum terpelajar/intelektual saat ini sedang dipertanyakan gelarnya sebagai agent of change. Karena alih-alih mampu mengubah bentuk masyarakat yang konsumerisme dan hedonisme, kaum terpelajar saat ini justru ‘terhanyut’ dalam arus negatif tersebut. Ini bisa ditelisik dari motivasi kaum terpelajar ketika mengais ilmu. Rata-rata motivasi mereka adalah bagaimana bisa mendapat kerja tanpa dibarengi komitmen bagaimana membentuk masyarakat idealis. Kendati motivasi tersebut bisa disahkan secara logika, namun secara moral motivasi tersebut akan mengkerdilkan predikatnya sebagai agent of change. Karena ia hanya akan menjadi aktor yang pasif dan cuma dapat mengikuti arus global atmosfir masyarakat tanpa ada sense of control terhadapnya.

Ketika aktor pengais ilmu ini motivasinya mencari kerja per se tanpa dibarengi komitmen membangun masyarakat yang idealis, maka motivasi ini sedikit banyak akan mengamini bentuk-bentuk materialisme yang mana ujung-ujungnya adalah konsumerisme dan hedonisme itu sendiri. Oleh karena itu tidak heran, jika kaum intelektual yang pernah duduk di kursi KPU pada pemilu kemarin, kendati dari kaum aktifis kampus yang dinilai steril dari kepentingan kelompok tertentu, masih saja tersandung masalah korupsi, karena motivasi mereka juga tidak jauh beda untuk bagaimana memanfaatkan peluang dan kedudukan yang terhormat bukan bagaimana menunaikan amanat rakyat dengan integritas tinggi.

Inilah yang membuat masyarakat Indonesia skeptis dan pesimis terhadap masa depan Indonesia dan tidak tahu kepada siapa lagi mereka akan menitipkan kepercayaan ini, setelah kaum intelektual dan terpelajar ternyata tidak jauh berbeda dengan bandit-bandit negara yang suka makan uang negara. Skeptisme masyarakat tersebut tampak trasparan pada pemilu 2004 kemarin, yang mana golput tampil sebagai pemenang pemilu[9]. Ini menggambarkan betapa dahsyatnya skeptifitas rakyat atas retorika-retorika kosong kaum intelektual yang terbungkus dalam partai politik, institusi pemerintah atau NGO.

Lalu bagaimana caranya mengembalikan citra kaum intelektual yang terpuruk tersebut ? Tidak ada jalan lain, kecuali para kaum intelektual mau kembali memakai jubah agent of change dan melempar jauh jubah agent of interest. Agent of change adalah sebuah terma untuk membina dan mengarahkan masyarakat kepada positif thingking dan menjunjung tinggi asas keadilan sosial.

Paulo Freire seorang pakar pendidikan dari Brazil memberikan definisi terhadap orang yang layak menyandang predikat intelektual adalah mereka yang konsisten menafsirkan dan memberi makna terhadap hidupnya di dunia dan dengan turut serta memberikan gagasan bagaimana cara memandang dunia[10]. Definisi intelektual Paulo Freire ini menggambarkan peran aktif kaum intelektual dalam berdialog dan berkomunikasi dengan masyarakat dalam proyek sosial yang ideal dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab. Paulo Freire paling anti dengan segala bentuk dominasi dan menyatakan perang terhadap penguasa yang otoriter dan pro status quo. Ia juga mengkritik kaum gereja yang tidak bisa bersikap netral terhadap kaum lemah dan tertindas. Gereja malah lebih suka memback up penguasa demi untuk menjaga stabilitas sosial dan meminta kepada pengikutnya untuk diam dan ikut aturan penguasa[11].

Namun negeri Indonesia saat ini tidak dalam drama hegemoni atau dominasi penguasa. Namun sebaliknya, pemerintah di bawah SBY justru nyaris miskin hegemoni atau dominasi. Ia hanya mampu berupaya membangun istana wibawa di atas puing-puing krisis multidimensi.

Arah Kompas Lokomotif Ilmu Pengetahuan

Sebuah pertanyaan mendasar muncul: Knowledge for what? Atau dalam bahasa lain, kemanakah arah lokomotif pengetahuan ini akan bermuara? Banyak intelektual mengakui akan dahsyatnya kekuatan akal, sehingga sebuah majalah DJ (Defence Journal) menjadikannya sebuah motto yaitu: mind is the ultimate weapon. Motto ini memberikan illustrasi akan tingginya superioritas akal karena mampu menciptakan unsur deterrent yang digambarkan dalam sebuah kata: weapon. Terma ini secara implisit menggambarkan dua posisi akal, positif dan negatif sekaligus, tergantung siapa dulu yang memegang weapon tersebut. Oleh karenanya, Islam tidak membiarkan akal bergerak liar tapi membungkusnya dalam nilai-nilai akhlakul karimah dan kemanusian. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kecerdasan akal bukanlah bentuk final dari penciptaan akal, tapi ilmu pengatahuan adalah alat instrumen untuk mencapai titik kebenaran dan kesempurnaan manusia. Dan kesempurnaan manusia terletak pada kontribusi positifnya terhadap masyarakat publik
[12], dan kontribusi positif ini tidak timbul kecuali dari bentuk kesadaran akan nilai-nilai positif dari akhlakul karimah.

Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, meringkas misi kerasulanya dalam sebuah statemen singkat: sesungguhnya aku diutus di dunia ini hanya untuk membentuk moral yang mulia[13]. Hadis ini menggambarkan betapa signifikanya etika dan moralitas terhadap komunitas masyarakat. Karena etika dan moralitas membawa masyarakat kepada kejujuran, kedamaian dan saling menghormati dan menolong antar sesama. Kendati misi kerasulan beliau mencakup banyak aspek, terutama misi Tauhid, namun makna Tauhid ini tidak banyak berarti bila tidak bisa terefleksi dalam bingkai akhlakul karimah. Karena inti dari risalah kalimah Tauhid adalah membentuk manusia yang beraklakul karimah. Dan akhlakul karimah inilah kata kunci yang mengarah kepada kecerdasan sosial dan peka terhadap gejala ketimpangan sosial.

Kesimpulan

Dalam Islam, banyak sekali pesan-pesan untuk menggunakan kelebihan kecerdasan akalnya untuk berfikir tentang ayat-ayat tanda kebesaran Allah agar manusia bisa memahami makna kehidupanya di dunia. Namun cukupkah kecerdasan akal manusia hanya untuk mengkomsumsi ayat-ayat kebesaran Tuhannya, tapi kosong aktualisasi di lapangan? Walaupun Allah senantiasa mendorong manusia (baca: muslim) untuk memaksimalkan kelebihan akalnya untuk berfikir,namun berfikir bukanlah akhir dari pesan Allah, ia masih bersambung dengan aksi di lapangan.

Kalau manusia mau mendalami lagi teks-teks agamanya, maka ia akan menemukan satu titik, bahwa muara dari pada berfikir dan kecerdasan akal adalah menjadi manusia terbaik. Lalu bagaimanakah menggapai predikat yang prestisius tersebut?. Rasulullah dalam sebuah hadis yang sangat masyhur memberikan jawaban singkat: manusia terbaik adalah orang yang paling banyak memberikan kontribusi positif kepada manusia. Hadis ini memberikan potret gamblang bahwa puncak dari pada kecerdasan akal adalah bagaimana caranya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya, bukan retorika di atas mimbar. Hadis ini seakan melegitimasi kebenaran firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang menjelaskan komitmen orang beriman bukanlah bentuk fisik dari ibadah tapi ketersambungan antara nilai keimanan dengan problem sosial yang terbingkai dalam nilai pengorbanan dan nilai kesabaran. Ketika nilai-nilai pengorbanan dan kesabaran ini tercerabut dari akar keimanan, maka yang muncul adalah hanyalah simbol-simbol agama yang tergambar dalam upacara-upacara ritual belaka tapi sunyi dari nilai-nilai sosial. Dari sinilah sebenarnya sumber pembusukan sebuah masyarakat di mulai. Ketika nilai-nilai moralitas, pengorbanan dan kesabaran yang menjadi simbol kecerdasan sosial mulai terdegradasi dari panggung masyarakat, maka yang muncul adalah sifat egoisme, individualistis dan arogan yang mana atribut negatif ini sangat bertentangan nilai-nilai kecerdasan sosial yang dicita-citakan oleh Islam. Wallahu A’alam.
(* Penulis tercatat sebagai mahasiswa S-2 Fakultas Sosial Science Dept.Education)

[1] . Lihat, Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 30
[2] . Lihat, Mazher Ul Haque, Political Science (theory and practice) bookland (Pvt) Limited, 16 Urdu Bazar, Lahore,hal, 138
[3] . Ibid, hal,1
[4] . Ibid,hal 143
[5] . Lihat, Abdul Halim Mahally, Menjarah Negeri Muslim, Fima Rodheta, Taman Villa Baru Blok A 26 Bekasi,hal,145.
[6] . Lihat, Mrs.Tanvir Khalid, Education (Introduction to Educational Philosophy And History), National Book Foundation, Islamabad,hal,6
[7] . Lihat, Encarta Encyclopedia 2006 (education)
[8] . Lihat, B.D. Damral, B.N. Dash, Philosopical and Sociological Foundation of Education, Kalyani Publisher B-I/1292, Rajinder Nagar, Ludhiana-141 008, hal,193
[9] . Lihat, Tempo, 23 Januari 2005.
[10] . Lihat, Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan,Kekuasaan, dan Pembebasan), Penerbit ReaD (Research, Education and Dialogue) dan Pustaka Pelajar, Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta, hal,23
[11] . Ibid, 212
[12] . Lihat, At-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Ausat, Juz, 13, hal, 27
[13] . Lihat, Imam Malik, Al-Muwatta’ hal,386.

1 comment:

Agus Handoko said...

Subhanallah, tulisan ente luara biasa.
Diamalkan dong ilmu2 yang telah ente dapatkan dari IIU Islamabad kepada masyarakat.
Tapi ngomong2 kapan ente nikahnya