Wednesday, October 3, 2007

Puasa dan Kesalehan Sosial

Oleh: M Afifuddin Muchith
Mahasiswa Pasca Sarjana Fak Sosial Science IIU Islamabad, Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri

Berbicara puasa maka orang akan langsung terbayang kepada sosok yang menahan lapar dan haus sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari di ufuk barat. Upacara keagamaan ini merupakan sebuah ritual umat Islam yang lumrah dilakukan tiap tahun ketika menjelang bulan suci Ramadhan tiba. Ritual tahunan ini merupakan sebuah perayaan yang disambut dengan suka cita oleh segenap umat Islam di seluruh dunia. Karena bulan tersebut memang selalu menjanjikan berbagai hidangan akherat yang menggiurkan mulai dari ampunan dosa sampai pemburuan sebuah moment penting dan sangat berharga dari seribu bulan atau yang lebih dikenal dengan terma malam lailatul qadar.

Puasa merupakan salah satu pilar fundamental tegaknya bangunan Islam. Diantara motivasi dan cita-cita besar Allah mewajibkan umat Islam berpuasa adalah agar menjadi manusia yang bertaqwa kepadaNya. Kelebihan puasa dari ritual upacara ibadah lainnya dalam Islam adalah karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia. Berangkat dari sinilah, Allah dalam sebuah hadis qudsi di kitab Bukhori dan Muslim berfirman dengan tegas bahwa puasa adalah milikNya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya.

Tingginya gairah beramal shaleh umat Islam di bulan suci Ramadhan ini memang luar biasa, sehingga orang tidur pun punya daya nilai ibadah apalagi orang yang benar-benar konsen dan fight mengerjakan dan mengumpulkan pundi-pundi amal saleh untuk tabungan amal di hari kelak nanti. Namun begitu, rata-rata umat Islam masih suka tergoda dan terjebak dengan nuansa hingar bingar pentas seni "kosmetik" dan "gincu" bulan suci ini, karena mereka belum bisa menjiwainya dalam perilaku shalehnya di bulan-bulan lain di luar Ramadhan. Ini memang kekurangan umat Islam dalam beragama yang masih terpesona dengan warna “gincu” teori ekonomi, alias suka menjual barang-barang mewah di pasar yang menjanjikan provit yang lebih dan belum mengarah kepada bentuk nilai-nilai keikhlasan yang murni dan rasa cinta kepada Allah.

Relasi Keshalihan Pribadi Dengan Keshalihan Sosial

Tidak diragukan nuansa perung kosong yang terbingkai dalam bentuk puasa akan selalu mendorong seorang hamba untuk tidak banyak melakukan aktifitas fisik yang berat dan lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada sang Penciptanya, karena rasa perih dan haus yang dideritanya memang tidak memungkinkannya untuk banyak bergerak kecuali hanya komunikasi kontak batin antara sang hamba dan Penciptnya. Berangkat dari sinilah mengapa dimensi interaksi ibadah puasa begitu kental mewarnai pribadi muslim dengan Tuhannya. Elemen inilah yang menciptakan nuansa hubungan vertikal begitu menonjol dan nyaris melupakan atau bahkan memutus hubungan horisontal. Padahal kalau kita mau renungkan lebih mendalam, dimensi vertikal ini selalu akan berbanding lurus dengan dimensi garis horisontal.

Kentalnya nuansa individual seorang hamba dengan Tuhannya dalam dimensi ibadah puasa ini karena pesan tafsir yang banyak diadopsi kaum muslimin dari makna taqwa yang mengarah kepada makna kedekatan personal seorang hamba kepada Penciptanya. Ini merupakan sebuah makna konvensional taqwa yang banyak dipahami oleh umat Islam selama ini. Namun kalau kita mau membaca ulang makna taqwa yang terdapat pada surat al-Baqarah 177 maka ia punya makna yang lebih holistik dan komprehensif yang tidak hanya mengarah kepada dimensi vertikal hamba dan Tuhannya saja, akan tetapi punya dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, membebaskan budak (menyantuni orang dhuafa) sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial

Bulan Ramadhan ini sebenarnya punya maksud dan nilai yang sangat mulia yang tidak hanya terbatas pada pembentukan pribadi-pribadi yang shaleh tapi juga membentuk karakter building sebuah masyarakat yang shaleh dan kokoh. Karena puasa ini sebenarnya sarat dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Mengembalikan Fitrah Manusia

Diantara cita-cita Allah menciptakan manusia adalah agar saling mengasihi, menolong antar sesamanya dan menjauhi sifat egoisme. Dengan dibekali akal fikiran yang sehat serta hati nurani yang jernih, manusia diharapkan mampu menjadi pengayom yang adil terhadap semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Namun sayang antara cita-cita dan realita terkadang harus berbenturan. Karena sering kali cita-cita mulia ini tidak bisa tersampaikan dengan baik karena sifat dan ego manusia yang sudah dikuasai oleh nafsu syetan, sehingga lupa akan jati diri dan tugas yang diembannya. Kendati demikian, Allah tidak patah arang dan masih tetap menaruh harapan besar akan kembalinya fitrah manusia, karena manusia adalah makhluk yang dapat menerima peringatan dan mau kembali kepada jati diri sucinya.

Diantara media yang digunakan Allah untuk mengembalikan manusia kepada fitrah aslinya adalah puasa. Dengan media puasa ini, manusia diharapkan dapat ingat dan mau kembali kepada jati dirinya yang suci dan luhur dengan hadirnya kembali nilai-nilai kemanusian yang arif dan bijak. Ketika nilai fitrah manusia tersebut muncul kembali, maka nilai persamaan dan solidaritas atas penderitaan sesama makhluk hidup akan dapat hadir kembali mewarnai hari-hari anak Adam, seiring nilai-nilai yang diajarkan dalam media puasa.

Ketika manusia (muslim) sudah dapat menangkap nilai yang terkandung dalam puasa, maka diharapkan ia mampu membebaskan dirinya dari bayang-bayang egoisme dan menghayati kembali nilai-nilai fitrah suci dalam dirinya. Dengan demikian, maka ia sebenarnya telah tersadar akan posisi dirinya sebagai makhluk sosial sejati yang harus peka dengan problematika kehidupan sosial yang ada di sekitarnya, dalam arti tidak lagi berpangku tangan dan justru akan menjadi ringan tangan membantu sesamanya yang masih dirundung duka dan nestapa. Gambaran kepekaan sosial ini akan kita temukan dengan gamblang saat orang-orang yang berpuasa tersebut diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah di penghujung akhir puasanya sebagai media penyempurna ibadah puasanya.

Ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap kesalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan kesalihan pribadi kepada kesalihan sosial. Karena Ia tidak akan ragu-ragu dan segan menolak puasanya pribadi-pribadi muslim manakala mereka belum menunaikan ibadah sosial berupa zakat fitrah.

Namun patut disayangkan, cita-cita puasa yang punya nilai kemanusian yang tinggi masih belum banyak disadari oleh insan yang berpuasa itu sendiri. Mereka masih saja terjebak dengan ritual upacara tahunan tersebut tanpa ada perubahan-perubahan yang mendasar pada perilaku kehidupan kesehariannya. Mereka hanya mengejar kesalihan pribadi tanpa ada ketersambungan sekali dengan kesalihan sosial. Fenomena ini memang bisa dipahami, karena masih jarang ulama atau intelektual yang membedah puasa dalam perspektif ibadah sosial. Para tokoh Islam lebih suka mengurai puasa dari sudut pendekatan garis vertikal tanpa memberikan relevansinya dengan garis horisontal sehingga membuat puasa tereduksi dalam media privat dan kehilangan daya kontrolnya dalam perilaku kehidupan muslim di tengah kehidupan bermasyarakat sosial. Allahu A’lam

No comments: