Sunday, September 16, 2007

Polemik UU Anti Zina di Pakistan

Oleh: M.Afifuddin A.Muchit
Slogan Islam yang sesuai dengan segala zaman, saat ini diuji integritasnya di negera Pakistan dalam menjawab persoalan diskriminasi kekerasan kepada kaum wanita. Sudah 27 tahun lamanya wanita di Pakistan dihantui bayang-bayang penerapan hukum hadd zina yang sangat diskriminatif. Karena keberadaan mereka selalu menjadi bulan-bulanan hukum peninggalan rezim Ziaul Haq tersebut. Mereka tidak berkutik saat terjadi kekerasan pemerkosaan terhadap diri mereka. Banyak dari mereka dipaksa membisu dari pada melapor ke pihak berwajib, tapi malah dijebloskan dalam penjara, dengan dalih kodhaf(menuduh orang berbuat zina tanpa ada saksi yang menguatkan) karena tidak bisa memberikan bukti kuat ketika melaporkan terjadinya pemerkosaan kepada diri mereka.
Kalau mengacu kepada konsep zina dalam Islam, orang bisa dikenakan pasal berzina apabila ada saksi empat orang dewasa yang melihat adegan tersebut. Namun apabila gagal menghadirkan empat saksi, maka sang pelapor bisa dikenakan pasal balik dengan nama kodhaf.
Definisi zina dalam Islam biasa diartikan sebuah adegan seksual di luar jalur nikah resmi yang dilakukan oleh dua orang lain jenis atas dasar suka sama suka. Namun sayangnnya hingga saat ini belum ditemukan teks resmi agama yang secara eksplisit menerangkan adegan seksual yang dilakukan atas dasar paksaan atau yang biasa dikenal dengan istilah pemerkosaan. Sehingga para perumus kebijakan di Pakistan akhirnya memasukkannya dalam satu bab dengan zina. Dan inilah problem yang sekarang menjadi perdebatan sengit di tingkat elit parlemen Pakistan.
Dengan belum ditemukanya teks tersebut, membuat posisi kaum wanita Pakistan menjadi sangat lemah di depan hukum. Sehingga tidak jarang kaum wanita harus menjadi korban dua kali sekaligus. Pertama, menjadi korban pemerkosaan, dan yang kedua dijebloskan ke dalam penjara, karena menuduh orang berzina tanpa bukti.
Dalam pandangan kaca mata orang umum, fenomena hukum hadd zina ala Pakistan ini memang menggelikan. Bagaimana tidak, seorang wanita yang melaporkan dirinya diperkosa oleh Mr.x justru malah kena pasal balik dengan tuduhan qodhaf, karena tidak mampu memberikan bukti empat orang saksi ketika dia diperkosa.
Pakistan yang terlahir dari rahim konsep two nation theory ini, sedang dilanda dilema besar berkaitan pelaksanaan hadd zina peninggalan Jenderal Ziaul Haq. Hukum Islam yang pernah dibuat politisasi rezim Ziaul Haq untuk menggalang dukungan rakyat Pakistan dalam era jihad di Afghanistan ini telah membawa ekses negatif kepada kaum hawa di Pakistan dalam hal penerapan hukum hadd zina. Karena tidak sedikit mereka menjadi korban dalam penerapan hukum tersebut, karena ketidakmampuan mereka menghadirkan bukti kuat ke pihak kepolisian saat melaporkan tragedi pemerkosaan, bahkan rawan dikenai pasal kodhaf, yang juga tidak jarang mengantarkan kaum hawa ke penjara kendati mereka adalah korban pemerkosaan itu sendiri.
Dalam penerapan hukum hadd zina ini, Pakistan tampaknya masih terkesan ambigu. Dalam satu sisi mereka masih mengagungkan teks yang menuntut empat orang laki-laki sebagai saksi dalam soal zina atau laporan pemerkosaan. Tapi dalam praktik penerapan sanksi di lapangan mereka tidak menggunakan hukum Islam seperti ranjam dalam zina atau cambuk 80 kali dalam kasus qodhaf sebagaimana termaktub dalam bunyi teks tersebut. Tetapi menggunakan media hukuman penjara sebagai penggantinya.
Ini memang anomali hukum hadd Zina yang telah membelah anggota parlemen Pakistan menjadi dua kubu antara pro dan kontra amandemen. Kubu pertama dikomando oleh partai penguasa yang pro pemerintah, yang berkeinginan kuat untuk mengamandemen hadd zina demi melindungi hak-hak prinsip kaum hawa. Kedua, kubu oposisi yang anti amandemen dan ingin tetap mempertahankan hukum lama kendati diakui hukum tersebut telah banyak merugikan pihak perempuan..
Mencuatnya tuntutan amandemen UU hadd zina di Pakistan dipicu oleh banyaknya korban penerapan UU tersebut, utamanya terhadap wanita yang terkena pasal qodhaf. Karena tidak kurang dari 7000 wanita di seluruh Pakistan telah dijebloskan dalam penjara. 80 persen diantaranya terjerat dalam satu kasus menuduh zina tanpa bukti kuat. Tuntutan tersebut memaksa elit di parlemen untuk membahas rancangan perubahan UU hadd zina tersebut. Namun begitu, tidak serta merta tuntutan tersebut bisa digolkan. Karena pihak yang menolak amandemen juga tidak kecil kekuatanya. Utamanya partai MMA yang menolak perubahan UU hadd zina, sehingga pembahasan draft perubahan hadd zina ini berjalan alot dan menegangkan, karena beberapa kali mengalami penundaan dan deadlock.
Pihak oposisi yang didominasi partai agama di bawah bendera partai MMA menolak keras draft perubahan tersebut dengan alasan tidak ada seorang pun punya otoritas untuk merubah hukum yang bersumber dari teks kitab suci. Partai nasionalis yang mendukung pemerintah juga tidak kalah keras berteriak bahwa konsep hadd zina peninggalan rezim Ziaul Haq ini sangat bertolak belakang dengan spirit Islam yang sangat melindungi hak dan kehormatan seseorang. Karena konsep hadd zina ini sudah sangat jelas menyudutkan posisi perempuan yang dipaksa harus menghadirkan empat orang laki-laki dewasa sebagai saksi atas peristiwa pemerkosaan yang menimpa kaum wanita, dan ini adalah sebuah persyaratan yang bisa dikatakan mustahil.
Untuk itu, tidak kurang dari 27 ormas di Pakistan mendukung draft perubahan hadd zina yang saat ini masih menjadi perdebatan sengit di gedung parlemen antara pro & kontra amandemen. Mereka menilai undang-undang tersebut sangat diskriminatif dengan hak-hak wanita. Mereka melakukan unjuk rasa turun ke jalan dari China Chowk sampai ke gedung parlemen, menuntut amandemen undang-undang hadd zina untuk dilakukan segera.
Selama kurang lebih 27 tahun lamanya undang-undang kontraversial ini telah menjadi hukum positif di Pakistan sejak era rezim Ziaul Haq tahun 1979. Isu amandemen UU hadd zina ini muncul dan menghangat seiring propaganda yang dilakukan presiden Musharraf untuk menjual konsep enligtened moderation di tengah publik Pakistan.
Dalam memasarkan slogannya tersebut, Musharaf masih menghadapi kendala pelik. Karena mayoritas rakyat Pakistan masih "dibelenggu" persepsi kuat tentang kesucian teks agama hingga membuat mereka ketakutan untuk keluar dari mainsterm teks kepada konteks. Kendati teks tersebut telah terbukti telah berbenturan dengan realita di lapangan dan banyak menimbulkan korban.
Persolan mendasar dari anomali hukum hadd zina ini adalah Pertama, ketidakmampuan kaum hawa yang menjadi korban pemerkosaan untuk menuntut pelaku pemerkosa ke meja hijau, karena dituntut menghadirkan empat saksi laki-laki atau saksi perempuan dengan dua banding satu. Kedua, hukum di Pakistan tidak mengenal hasil tes DNA sebagai pengganti saksi atau bukti. Ketiga, polisi diberikan otoritas penuh untuk menahan penuduh zina (korban pemerkosaan) dengan tanpa diberikan kesempatan untuk menyatakan keberatan atau meminta jaminan keamanan. Keempat, prinsip qodhaf sangat menyudutkan wanita untuk melaporkan kejadian pemerkosaan yang menimpa dirinya, karena bisa dikenai pasal balik menuduh tanpa bukti apabila ia tidak bisa membuktikan tuduhan pemerkosaan.
Amandemen UU zina di Pakistan adalah sebuah keharusan untuk mewujudkan cita rasa keadilan yang lebih humanis dan islami. Karena Islam tentunya tidak rela bila produk hukumnya dibuat dalih untuk menindas kaum lemah. Disamping itu, UU hadd zina ini nuansa politiknya lebih kental dari pada dorongan kesadaran untuk menegakkan hukum Islam itu sendiri. Karena UU tersebut lahir dari politik islamisasi yang dilancarkan oleh rezim Ziaul Haq untuk menarik dukungan kalangan agamawan untuk mendukung politiknya ketika menggulingkan mendiang Ali Bhutto, yang juga ayah mantan perdana menteri Pakistan Benazir Bhutto.
Berangkat dari anomali penerapan hadd zina di Pakistan ini dapat dipetik pelajaran bahwa penerapan syariat Islam secara membabi buta tanpa melihat konteks realitas sosial masyarakat dapat menjadi bumerang dan konflik. Untuk itu slogan Islam adalah solusi tampaknya perlu dikoreksi ulang. Karena ternyata instrumen hukum penerapan hadd zina ini telah menjadi antitesis terhadap slogan tersebut..
Ini merupakan pelajaran berharga buat umat Islam di Indonesia, yang saat ini sedang dibuai euforia penerapan syariat di beberapa daerah, agar tidak gegabah dalam menerapkan syariat Islam secara membabi buta. Karena akibatnya akan fatal. Ini bukan berarti penulis anti syariat Islam, tapi lebih melihat kepada maslahat yang lebih luas. Yakni dengan tidak memaksakan diri untuk menerapkan bunyi teks agama di lapangan tapi juga bisa arif melihat konteks. Jadi, teks dan konteks perlu disinergikan dalam bingkai kemaslahatan umat. Karena Islam adalah agama penebar rahmat untuk sekalian alam, bukan agama diskriminatif. Waallahu a'lam bissowab.














No comments: