Sunday, September 16, 2007

Tafsir Islam Publik penguasa vs Ulama

Oleh: M.Afifuddin Muchit
Islam dikenal luas oleh penganutnya sebagai agama yang sempurna dan paripurna yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia, baik yang vertikal maupun horisontal. Dogma ini mengantarkan kepada sebuah kata final yang termaktub dalam teks-teks agama (baca: alqur'an and as sunnah). Namun begitu, konsep Islam tentang relasi hubungan antar manusia masih dalam perdebatan sengit dan belum ditemukan kata sepakat dikalangan umat Islam tentang perlu tidaknya negara dilibatkan dalam menerapkan norma-norma Islam tentang kehidupan publik. Manafsirkan dogma Islam publik memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena ini selalu berbenturan dengan politik kekuasaan.

Ketika berbicara Islam, maka sosok yang representatif untuk menjadi juru tafsirnya adalah ulama. Karena dialah orang yang mengusai literatur dogma-dogma Islam. Namun masalahnya tidaklah semudah yang dibayangkan. Para ulama seringkali merujuk kehidupan publik pada teks agama. Kehidupan publik selalu saja "diringkus" dalam teks-teks agama untuk dicarikan pembenaran dan pemvonisan. Padahal ruang publik itu adalah kehidupan dinamis dan selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial sebuah masyarakat.

Tafsir Islam publik ala ulama ini sering kali berbenturan dengan fenomena sosial lebih-lebih dengan hukum positif di sebuah negara yang berlabelkan Islam. Disinilah kita perlu menarik garis tegas tentang posisi ulama sebagai penafsir Islam publik dan penguasa sebagai pemilik resmi urusan publik. Keduanya perlu disinergikan agar kehidupan publik bisa berjalan diatas rel perdamaian dan kesejahteraan.

Penguasa dan ulama adalah kubu yang selalu berebut ladang kehidupan publik. Dua kubu tersebut punya karakteristik yang berbeda dalam menjalankan aksi tafsir kehidupan publik. Penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya terkesan selalu mengedepankan naluri konteks dan rasio sementara ulama selalu menunggu isyarat teks dalam menghakimi dan mengatur kehidupan publik. Dua cara pandang yang berbeda inilah yang sering mengantarkan kepada benturan intepretasi tafsir publik dan tidak jarang mengarah kepada benturan fisik, seperti halnya kasus Lal masjid (11/7/07) di Islamabad.

Dalam tragedi berdarah tersebut memberikan gambaran masih absurdnya konsep Islam publik dalam mengatur keharmonisan relasi manusia dengan manusia. Dalam benturan fisik tersebut juga menyadarkan umat Islam di belahan dunia lainnya untuk bagaimana membuat konsep Islam publik yang harmonis dan sinergis dan tidak perlu adanya perang tafsir publik yang mengarah kepada pertumpahan darah.

Tafsir publik yang dipegang penguasa adalah tafsir yang kompleks dan tidak bisa hanya berpegang pada dua warna, hitam dan putih saja. Karena tafsir publik penguasa selalu berinteraksi dengan dunia luar yang menuntutnya harus bisa bersikap fleksibel dan tidak boleh kaku. Tafsir elastis ala penguasa inilah yang membuat kalangan tokoh agama kurang suka karena kerap sekali bertabrakan dengan tafsir publik milik mereka yang berisi dua warna itu. Oleh karena itu mereka selalu terdorong untuk 'membakar' tafsir publik penguasa yang tidak seirama dengan nilai-nilai tafsir agama mereka.

Dalam surat An Nisa ayat 59[1], penguasa sebenarnya punya legitimasi kuat untuk merebut tafsir Islam publik. Namun sayangnya dalam ayat yang sama yakni saat terjadinya kemelut yang memuncak legitimasi tersebut seakan sirna dan dicabut oleh Empunya dan berpindah tangan kepada rasulNya. Dari ayat ini pula, secara implisit memberikan celah bagi ulama bermain alibi untuk merebut tafsir publik. Karena disana tidak ada institusi yang layak menggantikan peran Rasulullah kecuali tokoh agama.
Namun begitu perang tafsir Islam publik ini tidak perlu diperpanjang dan harus segera diakhiri, selain karena kurang bermanfaat, perang tafsir ini juga tidak sejalan dengan cita-cita Allah yang ingin melihat umat manusia bergandengan tangan saling membantu dalam membangun peradaban manusia lewat dialog, cinta damai dan tidak saling memojokkan.

Dalam tafsir Islam publik ini, Islam sebenarnya punya konsep amr ma'ruf nahi munkar. Individu dalam Islam punya kewajiban yang sama untuk memasarkan Islam yang santun dan kewajiban mengontrol lingkungan masyarakatnya dan tidak hanya terkonsentrasi dengan urusan pribadinya.

Lewat konsep AMNM (amr ma'ruf nahi munkar ini), Islam resmi punya kekuatan kontrol dalam kehidupan publik. Untuk itu Islam selayaknya tidak dipasung dalam garis hierarki vertikal saja tapi tetap diberikan tempat untuk hadir dalam kehidupan horisontal. Bahkan garis vertikal Islam ini kurang banyak manfaatnya bila tidak mendorong pemeluknya untuk memiliki sense of control kepada lingkungan masyaraknya.

Namun begitu tokoh-tokoh Islam masih belum satu suara dalam menerjemahkan konsep AMNH. Konsep ini masih bias tafsir karena masih umumnya makna AMNH ini dan membuat setiap orang Islam merasa berhak melaksanakan konsep AMNH menurut kemampuanya. Namun begitu konsep AMNH ini ini bisa menyulut sikap arogan dan destruktif bila tidak diterjemahkan secara tegas. Karena AMNH ini memiliki tiga elemen penting yaitu: Kekuatan tangan, kekuatan ucapan verbal dan kekuatan nurani.

Untuk itu konsep ini harus disesuaikan kondisi pelaku AMNH agar relasi hubungan publik bisa berjalan harmonis dan saling memahami. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan konsep salah seorang ulama Islam yang mengatakan: نحن الدعاة لا القضاة. Ungkapan ini sangat pas dalam menjembatani relasi Islam publik dalam konsep AMNH. Dalam ungkapan ini telah ditarik garis tegas bahwa kekuatan tangan hanya milik penguasa, kekuatan ucapan verbal milik ulama dan kekuatan nurani milik rakyat umum.

[1] . يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (النساء59)

No comments: